Komisi Yudisial dan Gerakan Negara Hukum : Pendahuluan


Gerakan Negara Hukum Baru : Menimbang Langkah Afirmatif Komisi Yudisal


  • Pendahuluan

           Pada era Orde Baru, upaya masyarakat memperjuangkan hak-haknya yang terlanggar melalui jalan hukum (pengadilan) lebih merupakan jalan “menggali kubur” buat diri sendiri. Institusi hukum (kepolisian-kejaksaan-pengadilan) telah menjadi bagian dari kekuasaan dispotis dan korup yang berpihak kepada kekuasaan dan atau pemilik modal. 

     Jalan pengadilan justru menutup jalan, karena apabila semua upaya hukum telah dilakukan dan berakhir dengan kemenangan kekuasaan, maka selesai pulalah semua upaya. Langkah-langkah yang dilakukan di luar prosedur hukum akan dengan mudah dicap sebagai tindakan melanggar hukum, yang bisa menggiring mereka ke pengadilan baru dengan dakwaan kriminal baru. 

    Intervensi kekuasaan otoritarian Orde Baru terhadap lembaga peradilan selain menyebabkan tidak berjalannya sistem hukum yang memungkinkan bekerjanya undang-undang, aparatur penegak hukum dan tumbuh kembangnya budaya hukum, juga melumpuhkan tujuan hukum, yaitu: kepastian, keadilan dan kemanfaatan sosial hukum. Kalaupun pengadilan dapat menjalankan fungsinya secara bebas, itupun dalam perkara yang tidak menyinggung kepentingan rezim.

     Dalam catatan A. Muhammad Asrun3 , intervensi pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari target pemusatan kekuasaan yang dilakukan Orde Baru, dengan tidak memberi ruang gerak bagi hadirnya kekuasaan kehakiman yang lepas dari pengaruh kekuasaan di luar kehakiman; sebagaimana terbaca jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sebastian Pompe4 bahkan mencatat bahwa usaha pemerintahan Soeharto mengkooptasi kekuasaan kehakiman dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui Operasi Khusus (Opsus) dan Mahkamah Agung.

         Hambatan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas, tidak saja karena kooptasi struktural sebagaimana telah digambarkan di muka, tetapi juga fungsional dan personal, seperti keharusan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dapat diangkat menjadi hakim atau jaksa5 , sehingga harus tunduk dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang menuntut mono loyalitas pada setiap PNS, tidak terkecuali para hakim. 

         Menurut sejumlah pengamat, ketidakmandirian kekuasaan kehakiman juga disebabkan lemahnya jaminan UUD 1945 Pasal 24 dan Pasal 25. Kedua Pasal tersebut dinilai T. Mulya Lubis7 terlalu sumir karena tidak menjabarkan prinsip kebebasan dan kekuasaan kehakiman yang membuka ruang bagi interpretasi lain dari yang dimaksud pembuat UUD 1945. Selain itu, UUD 1945 juga hanya mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formil, dan tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara material8 ; atau dalam konsep lain, hanya mengenal pembagian kekuasaan (distribution of power) dan bukan pemisahan kekuasaan (saparation of power) 

        Ketidaktegasan konstruksi hipotetis negara hukum dan jaminan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 menjadi ruang kosong yang diisi rezim Orde Baru dengan interpretasinya sendiri untuk mengkooptasi pengadilan secara sempurna, sehingga pengadilan kehilangan peran formal dan substansialnya bagi implementasi negara hukum. 

      Konstruksi negara hukum bagi rezim Orde Baru adalah bagian dari politik stabilitas kekuasaannya, yang dalam bahasa Dwight King10 disebutnya sebagai negara Bureaucratic Authoritarian Regime atau dalam konstruksi Guillermo O’Donnell disebutnya sebagai negara otoriter birokratik.11 Dengan kekuasaan yang begitu besar dan terpusat, penguasa Orde Baru selalu melakukan monopoli interpretasi (hegemony of meaning) atau mendominasi seluruh wacana kenegaraan, terutama dalam bidang hukum. Rumusan dalam penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)” menunjukkan bahwa “machtsstaat” sebagai yang primer dan “rechtsstaat” sebagai sekunder12, atau kekuasaan sebagai lingkaran besar, sementara hukum (negara hukum) adalah lingkaran kecil yang berada dalam lingkaran besar.




Contiuned ..

Referensi :

- Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.Problematika Hukum dan Peradilan

- Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Stuttgart, K.F. Koehler, 1961 dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum; Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan, Penerbit Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004, hlm. 19-21


* IG @asgroup.id - Twitter @asgroup_id 



Komentar

Postingan Populer