Langsung ke konten utama

Unggulan

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN DANA HIBAH DENGAN CARA MEMBUAT PROYEK FIKTIF

ARTOSULAWESI.MY.ID - Universitas Kanjuruhan Malang telah menerima dana hibah sebesar Rp3 miliar dari Dirjen Dikti. Kemudian, Drs. Parjito, M.P., (Terdakwa) selaku Pembantu Rektor I dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), merancang proyek fiktif berupa pembangunan Gedung Multikultural senilai Rp2,29 miliar bersama-sama dengan Rektor dan Bendahara Universitas. Namun, pengerjaan gedung sebenarnya telah dilakukan secara mandiri oleh pihak Universitas yang dananya berasal dari PPLPT-PGRI. Akan tetapi, Terdakwa menggunakan dan menandatangani dokumen fiktif berdasarkan pembangunan tersebut untuk mencairkan dana hibah kepada PT APK (penyedia) yang kemudian ditransfer kembali ke rekening Rektor Universitas. Terdakwa juga mendapatkan keuntungan pribadi sebesar Rp300 juta. Alhasil, negara dirugikan sebesar Rp2.091.428.000. Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) huruf a, b Ayat (2) dan Ayat (3) UU 31/1999 oleh Pengadilan Negeri S...

Pengantar Pembatalan Izin Usaha Pertambangan (Sulawesi Tenggara)

 

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, dan lain-lain.[1] Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, Ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ini merupakan ketentuan hasil rumusan para pendiri negara, secara esensi mempunyai “roh” sangat luhur, bukan saja dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi ketentuan itu mempunyai makna religius. Makna religius dimaksud adalah, adanya penegasan pengusaan negara atas kekayaan alam, dimana hasil kekayaan tersebut hanya dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan yang lain.[2]

Berdasarkan UU nomor 3 tahun 2020 pasal 1 ayat (1) bahwasanya Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan atau pemurnian atau pengembangan dan atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Sedangkan Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan danf atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.[3]

Pemerintah bertanggung jawab atas usaha Pertambangan di negara ini, dimulai dari proses perizinan sampai pada pasca tambang, Negara dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah memastikan aktivitas pertambangan telah memenuhi syarat dan prosedur serta pelaksanaannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat berupa : Menjamin kepentingan masyarakat baik lapangan pekerjaan, perlindungan pencemaran lingkungan hidup maupun jaminan kelangsungan kehidupan sosial-budaya dan adat-istiadat setempat.

Sejak memasuki era reformasi Sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem desentralisasi, memberikan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan dan mengatur daerahnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan memaksimalkan kedaulatan rakyat melalui prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan serta partisipasi masyarakat berjalan dengan baik. Otonomi daerah adalah Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem negara kesatuan republik indonesia.[4]

Sebelum berlakunya otonomi daerah, pejabat yang berwenang mengeluarkan izin usaha pertambangan seperti : Izin kuasa pertambangan, izin kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara adalah pemerintah pusat, yang diwakili oleh menteri energi dan sumber daya mineral, tetapi sekarang telah pula menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Jadi, kewenangan izin usaha pertambangan adalah menteri energi dan sumber daya mineral, Gubernur dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan kabupaten yang sebagian besar wilayah daratannya adalah pulau yakni sekitar ± 1.513.98 Km2, terdiri dari daratan ± 867, 58 Km2, Luas Perairan (laut) ± 646, 40 km2 dan garis pantai 178 km2.[5] Pada wilayah darat inilah terdapat  potensi unggulan dibidang pertambangan seperti nikel, pasir kroom, pasir kuarsa, marmer, emas, batu bara, batu gunung dan sirtu (pasir kali). Investor/pemilik modal melihat ini sebagai peluang besar untuk mengeruk untung yang sebesar-besarnya, sekaligus ikut berpartisipasi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan pemerintah daerah Kabupaten Konawe (sebelum pemekaran) kemudian menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di pulau Wawonii, antara tahun 2008-2013 setidaknya ada 18 IUP yang diterbitkan tetapi 3 sudah game over (tidak ada tindaklanjut) yakni tambang logam dan tambang non logam dengan Total luas lahan 23.373 Hektar atau 32% dari total luas daratan pulau Wawonii. Perizinan di Pulau Wawonii saat itu masih dibawah wilayah administrasi Kabupaten Konawe sebelum pemekaran menjadi Kabupaten Konawe Kepulauan.

Bidang pertambangan jika dikelola dengan baik akan sangat menguntungkan negara dan Rakyatnya seperti terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan devisa negara, pendapatan asli daerah, juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dan yang tak kalah pentingnya pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kualitas masyarakat yang bermukim di wilayah lingkar tambang.

Realitanya berbeda dari apa yang diharapkan, keberadaan perusahaan tambang di Indonesia kini banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Disebabkan beberapa perusahaan tambang diduga telah menimbulkan dampak negatif dalam pengusahaan bahan galian. Dampak negatifnya antara lain :Rusaknya lingkungan, tercemarnya laut, terjangkitnya penyakit bagi masyarakat yang bermukim didaerah lingkar tambang serta konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang. Tak ada bedanya di Kabupaten Konawe Kepulauan, hasil analisa awal dari beberapa literatur yang mengulas tentang persoalan aktivitas pertambangan di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan,  selain telah menimbulkan konflik baru dimasyarakat juga kehadiran perusahaan tambang tersebut telah melanggar batas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya pemerintah dalam hal ini Gubernur selaku kepala pemerintah daerah Sulawesi Tenggara mengeluarkan keputusan pembatalan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Senin 11 Maret 2019. Dengan keputusan ini diharapkan dapat meredam gejolak dimasyarakat dan menertibkan perusahaan yang telah dan akan beroperasi, tetapi pada kenyataannya keputusan ini dinilai lemah dan tak mengakomodir aspirasi rakyat, oleh Berbagai kalangan dianggap sebagai keputusan pembatalan Sementara dan dapat dilanjutkan setelahnya.



[1] Salim HS, Hukum Pertambangan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), Hlm 1

[2] Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2013), Hlm 1

[3] Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

[4] Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

[5] Badan pusat statistik Daerah Kabupaten Konawe kepuauan 2019

Komentar

Postingan Populer