Penyelesaian pelanggaran HAM menggunakan bantuan hukum struktural
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia telah banyak menguras energi bangsa, terutama terhadap kasus-kasus yang melibatkan pemerintah dan rakyat (social justice warriors). Bermula dari kebijakan lembaga negara Eksekutif, Legislatif dan atau Yudikatif yang menuai reaksi dari berbagai elemen masyarakat, sehingga menimbulkan kritik berupa Unjuk rasa yang seketika memakan banyak korban luka bahkan meninggal dunia. Kejadian yang sama di rasakan oleh hampir setiap generasi bangsa, terutama kalangan bawah/marjinal yang sulit bahkan mustahil mendapatkan keadilan.
Realitas hukum yang terjadi telah memunculkan kesadaran masyarakat, khususnya praktisi dan akademisi Hukum. Tokoh Pendiri Lembaga bantuan hukum Jakarta, adnan buyung nasution dalam buku Bantuan Hukum di Indonesia, menulis tentang rumusan bantuan hukum struktural untuk diterapkan di Tanah Air, Bantuan hukum ini merupakan pergeseran paradigma hukum, yang saat itu menganggap bantuan hukum kepada rakyat kecil atau tertindas sebagai bentuk amal atau charity, dan dilakukan oleh individu. Dalam konsep bantuan hukum struktural, bantuan hukum yang dilakukan oleh individu kemudian mengalami pergeseran, dan dilakukan oleh sebuah lembaga. Bantuan hukum tidak lagi didapatkan sebagai bagian dari amal suatu individu, tetapi menjadi hak yang harus didapatkan warga negara, terutama rakyat kecil. Karena itu, lembaga bantuan hukum untuk menjamin pelaksanaan bantuan hukum struktural. Di lingkungan akademisi Kegiatan memberi bantuan hukum, ditandai dengan hadirnya biro konsultasi hukum di Fakultas Hukum (Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dll), yang bertujuan: Pertama, untuk memberikan konsultasi hukum untuk si miskin; Kedua, sebagai tempat latihan bagi mahasiswa untuk mengasah keahlian hukumnya.
Salah satu kewajiban Pengacara/Advokat adalah memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) berbunyi, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”
Bahkan Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum), tidak hanya membatasi pada Pengacara/Advokat saja yang bisa memberi bantuan hukum, melainkan dosen, paralegal, dan mahasiswa fakultas hukum juga boleh memberikan bantuan hukum (liat Pasal 9 UU Bantuan Hukum), tentu dengan syarat dan kualifikasi yang sudah ditetapkan.
Kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi profesi advokat tidak lepas dari prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak setiap orang untuk didampingi advokat tanpa kecuali. Bantuan hukum merupakah hak asasi manusia bukan wujud belas kasihan sehingga sifatnya wajib. Bantuan hukum merupakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam mengentaskan ketidakadilan dalam masyarakat.
Pembelaan terhadap orang yang tidak mampu mutlak diperlukan. Mereka sering kali mereka awam hukum dan hak-hak mereka sebagai tersangka atau terdakwa. Belum lagi, perlakuan tidak adil dan hambatan kepada mereka untuk didampingi seorang pengacara. Masyarakat awam dan miskin yang dihadapkan dengan permasalahan hukum berpotensi besar menjadi korban ketidakadilan oleh sistem dan ulah oknum penegak hukum yang tidak bertanggung jawab, sehingga peran Pengacara/Advokat untuk mendampingi atau memberi bantuan hukum kepada mereka sangatlah perlu.
Salah satu dari banyaknya pelanggaran HAM ialah tewasnya Randi-yusuf di Kendari, Sulawesi Tenggara dalam aksi demontrasi penolakan RUU KUHP dan RUU KPK setahun yang lalu. Upaya Hukum Litigasi dan non litigasi tidak menemui titik terang yang berakibat pada ketidakpastian hukum dan ketidak percayaan masyarakat pada penegakkan hukum di Indonesia. Satu tahun berlalu bayang-bayang busana coklat yang kejam menghantui para pencari keadilan khususnya mahasiswa/i yang berdampak pada surutnya daya kritis kaum itelektual, hemat penulis upaya hukum peneyelesaian pelanggaran HAM ini perlu dilakukan bersama-sama dan terstruktur, salah satunya melalui lembaga bantuan hukum. Jika dibiarkan berlarut-larut, akan menambah daftar pelanggaran HAM yang tidak tuntas dan berakhir dimeja hakim tanpa ada putusan yang jelas, tidak cukup disitu kasus ini meningkatkan jurang ketimpangan keadilan si miskin dan si kaya-aparat dan rakyat- pemerintah dan mahasiswa.
Pada kasus ini, bantuan hukum struktral sangat diperlukan dalam upaya menegakka keadilan tanpa pandang bulu yaitu perlu dilibatkan lembaga bantuan hukum yang dengan tugas dan taanggung jawabnya ikut serta mengupayakan kepastian hukum dan edukasi hukum bagi masyarakat secara luas.
Menurut hemat penulis, langkah-langkah yang perlu dilakukan menggunakan bantuan hukum struktural dalam kasus pelanggaran HAM yaitu : upaya perubahan suatu struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang timpang menuju ke arah suatu struktur yang memberikan peluang bagi pengembangan sumber daya hukum si miskin dan lemah. Jadi bukan merupakan aksi kultrural semata tapi merupakan aksi struktural yang diharapkan dapat mengubah tatanan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda