RKUHAP REVISI: Sepuluh Substansi Perubahan
|  | 
|  | 
ARTOSULAWESI.MY.ID - 10 Substansi Perubahan. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy), menyebut RKUHAP memuat 10 Substansi Perubahan utama.
Perubahan ini bertujuan memperkuat Hak tersangka, terdakwa, saksi, hingga korban.
"Serta mewujudkan sistem Peradilan Pidana terpadu yang memperkuat fungsi tugas dan wewenang aparat penegak hukum/APH yang selaras dengan Perkembangan Ketatanegaraan dan kemajuan informasi teknologi," kata Eddy dalam rapat perdana pembahasan RKUHAP di Komisi III DPR, Selasa lalu.
10 Substansi Perubahan itu mencakup:
• Penyesuaian dengan Nilai-nilai KUHP baru (restoratif, rehabilitatif, restitutif).
• Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
• Penguatan Peran Advokat dalam Peradilan Pidana.
• Perlindungan untuk perempuan, penyandang disabilitas, dan lansia.
• Perbaikan mekanisme upaya paksa yang lebih akuntabel dan Berprinsip HAM.
• Pengaturan upaya hukum secara komprehensif.
• Penguatan Asas Hukum Acara Pidana berbasis HAM.
• Penyesuaian dengan konvensi internasional dan regulasi HAM.
• Modernisasi Hukum acara
(cepat, sederhana, transparan, akuntabel).
• Revitalisasi hubungan Penyidik dan Penuntut umum.
Siaran Langsung di Persidangan
Komisi III DPR dan Pemerintah SEPAKAT Menghapus Pasal larangan Publikasi langsung proses Persidangan yang sempat tercantum dalam Pasal 253 ayat (3) dan (4) draf RKUHAP.
"Teman-teman Pak Wamen, kita juga menerima kunjungan teman-teman pers, waktu itu Aliansi Jurnalis Independen dalam koalisi masyarakat sipil. Ini terkait peliputan Pak. Itu kan ada Norma di KUHP kita enggak usah atur dari di sini Pak, KUHAP," kata Habib dalam rapat panja.
"Sudah diatur dalam KUHP jadi tidak perlu lagi diatur di KUHAP," ujarnya.
Wamen Hukum Eddy juga sepakat dengan usulan itu. Ia mengatakan aturan terkait publikasi sudah masuk KUHP.
"Sudah diatur dalam KUHP jadi tidak perlu lagi diatur di KUHAP," tutur Eddy.
"Iya kami komitmen dihapus di sini. Sepakat," kata Habiburokhman.
Impunitas Advokat
RKUHAP kini mengatur Kekebalan Hukum atau IMPUNITAS bagi Advokat saat menjalankan tugas dengan itikad baik.
"Bersepakat lah kami anggota Komisi III secara bulat untuk memasukkan Pasal tersebut dalam Pasal 140 Ayat 2," ujar Habib.
Bunyi pasalnya:
"ADVOKAT tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana dalam menjalankan TUGAS PROFESInya dengan Itikad baik untuk kepentingan Pembelaan klien di dalam maupun di luar Persidangan."
Eddy menyatakan tidak keberatan selama tetap mengacu pada UU Advokat.
MA Tak Dilarang Jatuhkan Vonis Lebih Berat
Panja RKUHAP menghapus usulan yang melarang Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman lebih berat dari tingkat pertama dan banding.
"Sudah disepakati bahwa ketentuan ini dihapus," jelas Habib.
Sebelumnya, substansi ini tertuang dalam DIM dari pemerintah yakni Pasal 293 ayat (3).
Dengan penghapusan itu, MA tetap bisa menjatuhkan vonis lebih berat dari putusan pengadilan sebelumnya sesuai keyakinannya.
Plea Bargain dan Penundaan Penuntutan
Dilansir detiknews, Panja Komisi III DPR menyepakati pengaturan mekanisme plea bargain atau Pengakuan Bersalah, serta Perjanjian Penundaan Penuntutan (Deferred Prosecution Agreement/DPA) dalam RKUHAP.
Dalam ketentuan yang disepakati, keputusan atas pengakuan bersalah maupun DPA akan tetap berada di tangan hakim.
Wamenkum Eddy menjelaskan substansi tersebut tercantum dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) 26 dan 27 sebagai bagian dari Paradigma Hukum Pidana
Modern yang juga tercermin dalam KUHP baru.
"Pasal substansi baru (DIM) 26, 14a mengenai Definisi PENGAKUAN BERSALAH
Atau yang dikenal istilah/TERM PLEA BARGAIN adalah: MEKANISME HUKUM BAGI TERDAKWA UNTUK MENGAKUI KESALAHANNYA Dalam Suatu TINDAK PIDANA KOOPERATIF Dalam Pemeriksaan,
Dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman," ujar Eddy.
Eddy menegaskan bahwa Mekanisme Plea bargain BERBEDA dengan KEADILAN RESTORATIF (restorative justice).
Jika restorative justice (RJ) dijalankan di luar Persidangan, maka PLEA BARGAIN tetap Harus Melalui Proses Persidangan dan memerlukan Persetujuan Hakim.
"Cuma acaranya diubah dari pemeriksaan biasa menjadi Pemeriksaan acara singkat,
Karena si Terdakwa sudah Mengaku, tetap dijatuhi Hukuman cuma diringankan.
Lalu ada syarat-syarat plea bargain, ancaman pidana tidak boleh lebih dari 5 tahun," jelas Eddy.
Habiburokhman kemudian meminta persetujuan peserta rapat terkait substansi tersebut, yang disambut persetujuan bulat.
Selain Plea bargain, Eddy juga memaparkan substansi baru lainnya berupa PERJANJIAN PENUNDAAAN PENUNTUTAN atau Deferred Prosecution Agreement (DPA).
Mekanisme ini berlaku khusus untuk tindak pidana/TP yang dilakukan oleh KORPORASI.
"Substansi baru juga, ini yang disebut dengan perjanjian penundaan penuntutan/ DPA, adalah Mekanisme hukum bagi penuntut umum (JPU) untuk Menunda Penuntutan terhadap Terdakwa yang melakukan tindak pidana/TP oleh Korporasi," kata Eddy. Adapted: By Jorry Sam. (Agus Salim)




Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda