Reformasi Pengelolaan Pertambangan

 

            Kenyataan tidak berkolerasinya antara berlimpahnya kekayaan Indonesia dengan kesejahteraan rakyatnya merupakan anomali. Dari anomali itu, sampai pada sebuah kesimpulan, yakni pasti ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan kekayaan tambang di Indonesia. Namun dimana letak kesalahan itu terjadi? hal ini memerlukan kejujuran dan kearifan untuk menjawabnya. Melalui, kejujuran dan kearifan diyakini dapat melahirkan sebuah jawaban solutif, guna menghindari kesalahan itu tidak terulang kembali.

            Dari hasil pengamatan, memang terdapat beberapa kesalahan yang telah dilakukan bangsa ini dalam melakukan pengelolaan kekayaan sumber daya bahan galian. kesalahan itu, apabila diruntut bersifat kompleks dan sistematis. Kompleksitas dan sistematisnya kesalahan dimaksud, karena berawal dari kebijakan yang dibuat dalam melaksanakan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian selama ini. Secara garis besar, kesalahan tersebut, dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok besar, yaitu :

1.    Kesalahan pemaknaan atas esensi pasal 33 ayat (3) tentang hak mengusai negara atas bahan galian;

2.  Kelemahan landasan yuridis formal tentang pengelolaan dan pengusahaan bahan galian. Kelemahan ini berkaitan erat dengan kesalahan pemaknaan atas esensi pasal 33 ayat (3) di atas. Sebagaimana diketahui, landasan hukum kegiatan usaha pertambangan yang berlaku, tidak mempunyai keberpihakan terhadap rakyat secara adil

3.  Keserakahan pelaku kegiatan usaha pertambangan dan oknum pemerintah. Ini terjadi dan berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya, didorong dan disebabkan oleh 2 faktor di atas. Para oknum pelaku usaha dan pemerintah dengan jeli memanfaatkan kesalahan pemaknaan dan kelemahan peraturan perundang-undangan untuk mengeruk kekayaan sumber daya bahan galian, hanya demi kepentingan sendiri.

Kesalahan pemaknaan atas esensi Pasal 33 ayat (3), kelemahan pengaturan pertambangan dan keserakahan yang ditengarai dilakukan pelaku usaha pertambangan dan oknum pemerintah, berpadu menjadi kesatuan utuh, sehingga membuat persoalan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian tidak sebatas kecilnya hasil yang diterima negara dan bangsa ini, tetapi juga telah mendorong berbagai kenyataan pahit, terkorbankannya kepentingan rakyat setempat khususnya dan negara pada umumny. Contoh-contoh korban akibat aktivitas usaha pertambangan selama ini, misalnya :

1.      Kasus pencemaran Teluk buyat di Sulawesi

2.      Perampasan hak-hak atas tanah adat atau masyarakat setempat di beberapa daerah

3.      Terjadi pelanggaran HAM, baik oleh perusahaan, maupun oleh oknum aparat, dengan dalih mengamankan kepentingan investasi dan kepentingan nasional

Di lain pihak, ternyata pemerintah dalam praktiknya tidak mempunyai daya paksa terhadap pelaku kegiatan usaha pertambangan yang nakal, malahan ada kecenderungan selalu mengalah pada kepentingan investor. Kecenderungan tersebut, dapat kita lihat dari fakta-fakta sebagai berikut :

1.      Lemahnya posisi pemerintah dalam melakukan negosiasi pengelolaan dan pengusahaan bahan galian, hal tersebut, berimplikasi pada kecilnya bagian yang dapat diterima negara atas hasil bahan galian yang dieksploitasi

2.      Munculnya beberapa paket kebijakan yang memanjakan investor pertambangan, seperti insentif atau keringanan pajak, bebas bea masuk barang dan peralatan produksi, dll

3.      Kebebasan investor untuk melakukan penjualan produk bahan galian yang dihasilkan dalam bentuk bijih (batu), bukan produk yang telah mengalami pengolahan dan pemurnian

4.      Tidak adanya kebijakan yang berpihak untuk kepentingan nasional secara nyata, misalnya kebijakan yang melarang ekspor bahan galian dalam bentuk bijih

Kesalahan, kelemahan, contoh kasus, dan fakta-fakta di atas, merupakan penyebab utama tidak maksimalnya manfaat yang dapat diambil atas bahan galian yang telah berhasil diekploitasi. Sehingga dari kesalahan, dan kelemhana itu pulalah, sangat memungkinkan terjadinya berbagai bentuk manipulasi data yang berujung pada kerugian negara. Bentuk-bentuk manipulasi tersebut, di antaranya :

1.  Manipulasi jumlah cadangan dan produksi tambang, manipulasi dalam konteks ini , sesungguhnya sangat konvensional, tetapi karena masuknya berbagai kepentingan maka manipulasi itu terus terjadi

2.   Manipulasi kadar bahan galian, karena dengan cara menurunkan kadar bahan galian, akan berpengaruh pada harga jual, dan harga jual akan memengaruhi formulasi nilai pajak dan penerimaan negara bukan pajak bahan galian yang harus dibayar kepada negara

Perjalanan dan penantian panjang atas kondisi pengelolaan dan pengusahaan bahan galian yang terjadi selama ini, untuk sementara cukup terobati, sejalan dengan telah lahirnya UU no. 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU no. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Secara substansi UU ini cukup mengakomodasi gejolak dan kegelisahan sebagian warga bangsa ini, tinggal menunggu pada tataran implementasinya. Bentuk-bentuk akomodasi dimaksud adalah tercamtumnya aturan yang secara yuridis mempunyai keberpihakan , baik terhadap kepentingan rakyat setempat maupun kepentingan nasional, yaitu :

1.      Diakomodasinya pertambangan rakyat secara proposional

2.      Adanya fungsi pengendalian negara/pemerintah dalam pengelolaan dan pengusahaan bahan galian

3.  pendelegasian pengelolaan dan pengusahaan bahan galian dilakukan secara fair, yaitu melalui mekanisme lelang

4.  Kewenangan masing-masing wilayah administrasi atas pengelolaan bahan galian diatur secara jelas

 

Referensi :

Buku 

- Nandang Sudrajat, Teori dan Praktek Pertambangan Indonesia

- Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia

Komentar

Postingan Populer