Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Perlindungan Hukum)

 


 

Anak adalah masa depan maupun generasi penerus bangsa yang memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada.[1]  Di Indonesia hak asasi manusia sangatlah di junjung tinggi, dimana hak asasi anak termasuk di dalamnya dan ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan. Salah satu hak penting yang harus di dapatkan oleh anak ialah mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan hukum tersebut diberikan kepada anak yang mengalami perlakuan salah, eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan bencana serta anak yang berhadapan dengan hukum dan lain-lainnya

Meningkatnya jumlah kasus terorisme baik itu yang banyak menimbulkan korban jiwa anak ataupun orang dewasa mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia selama ini. Berdasarkan kasus-kasus terorisme yang yang terungkap dewasa ini terlihat bahwa anak pada perkembangannya banyak yang menjadi pelaku terorisme sehingga, menimbulkan keresahan di dalam masyarakat tidak hanya para orang tua yang mempunyai anak, tetapi juga oleh aparat penegak hukum.[2]

Perlindungan terhadap anak dengan perlindungan hukum terhadap, ada di dalam Undang–Undang Dasar 1945 Pasal 34 yang menentukan bahwa negara memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Lebih diperjelas lagi di dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menentukan bahwa kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (non extra ordinary crime), sebab pengertian “terorisme” itu sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap manusia atau crime against humanity[3], Kejahatan terorisme kini telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).

Problematika tindak pidana terorisme terhadap anak timbul karena penegakan hukum pidana selama ini belum berorientasi pada nilai keadilan terutama perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme, tetapi lebih pada penerapan hukuman pada pelaku. Akibatnya tidak membuat orang-orang takut melakukan tindak pidana terorisme, bahkan semakin banyak pelaku tindak pidana terorisme yang melibatkan anak sebagai pelaku maupun sebagai korban. [4]

Terorisme dapat dianggap sebagai cara yang masuk akal untuk mengejar keinginan ekstrim dalam kancah perseteruan politik, terorisme merupakan suatu alternative yang dapat dipilih oleh organisasi-organisasi radikal untuk melakukan perlawanan terhadap satu ideology atau Negara yang dianggap atau menciptakan ketidakadilan terhadap kelompok mesyarakat tertentu dalam kehidupan bernegara dan berbangsa khususnya ditujukan kepada Amerika Serikat dan Sekutunya. Untuk itu saat ini tindakan radikal sudah melibatkan anak karena anak merupakan individu yang rentan dan mudah dipengaruhi untuk mengikuti faham-faham yang mengarah pada tindakan radikalisme.[5]

Perlindungan terhadap anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh pemerintah sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28 B Ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, di samping itu dalam ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalagunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, anak korban pornografi, anak korban penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau psikis, anak yang menyandang disabilitas, dan anak korban kejahatan seksual”.

Semua tindakan terorisme selalu melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Terorime dirancang khusus untuk menimbulkan rasa takut yang dalam di luar sasaran atau korbannya.Untuk itu teroris menbuat rencana untuk menimbulkan suatu kejutan, kesan dan intimidasi guna meyakinkan bahwa hasil kerjanya dapat menimbulkan ketakutan yang dapat diekspose oleh media dan sebagai imbalannya adalah rasa takut dari pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan dari teroris dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.             Untuk menarik perhatian dengan melalui peristiwa yang dramatis terhadap eksistensi dari kelompok tertentu dengan melakukan kekerasan ingin ditimbulkan kesan atau perhatian seara dramatis

2.             Untuk menimbulkan pengakuan, dengan cara menarik perhatian melalui peristiwa

3.             Untuk menimbulkan penghargaan dari pihak yang setuju dengan gerakannya bahwa ada kekuatan yang dapat diandalkan

4.             Otoritas dengan bersenjatakan pengakuan dan penghargaan, teroris mencari kekuasaan yang mampu menimbulkan perubahan dalam pemerintahan atau masyarakat yang konsepnya ada pada nilai yang diperjuangkannya

5.             Teroris ingin menguasai pemerintahan, mengkonsolidasikan tujuannya untuk melakukan pengawasan terhadap Negara dan rakyat.[6]

Kepentingan yang terbaik bagi anak menjadi kepentingan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum, oleh sebab itu apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hokum yang berlaku di masyarakat. Menyadari Tindak Pidana Terorisme tidak diatur secara khusus dalam KUHP untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia menyusun Perppu No. 1 Th. 2002, menjadi Undang - Undang No. 5 Tahun 2018 tentang pemberantsan tindak pidana terorisme. Hal itu dilakukan oleh pemerintah demi melindungi segenap warganya serta demi terciptanya keamanan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara.[7]

Dewasa ini modus baru dalam tindak pidana terorisme yaitu melibatkan didalamnya, bahkan telah terdapat kejadian beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya di Indonesia bahwa orangtua melibatkan anak dalam tindak pidana terorisme, orangtua tersebut dapat dipastikan telah bergabung menjadi anggota jaringan teroris, para pelaku teror yang ada di Indonesia melakukan sistem perekrutan melalui keyakinan untuk membina teroris yang handal. [8]

Perekrutan menjadi anggota teroris yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya sendiri tentu bukanlah hal baik bagi anak, pada jaman sekarang telah nyata adanya bahwa orangtua memberikan pendidikan negatif terhadap anaknya yang menyebabkan anak melakukan kenakalan bahkan terlibat dalam tindak pidana yang membuat anak harus berurusan dengan hukum. Kasus mengenai orangtua yang melibatkan anak dalam tindak pidana terorisme terjadi di kota Surabaya, di beberapa lokasi berbeda dan terdapat 3 (tiga) keluarga berbeda pula yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak.[9]

Pada kasus lain yaitu yakni Anton Febrianto yang berumur 47 (empat puluh tujuh) tahun selaku kepala keluarga melakukan peledakan bom yang mengakibatkan istrinya bernama Puspitasari yang berumur 47 (empat puluh tujuh) tahun dan anak sulungnya yang berumur 17 (tujuh belas) tahun meninggal dunia di lokasi kejadian, sementara anaknya yang ke 2, 3 dan 4 yakni ditemukan masih hidup, lalu ketiga yakni Tri Murtiono yang berumur 50 (lima puluh) tahun selaku kepala keluarga dan istrinya Tri Ernawati yang berumur 43 (empat puluh tiga) tahun melibatkan ketiga anaknya berumur 19 (sembilan belas) tahun, anaknya berumur 15 (lima belas) tahun dan anaknya yang berumur 8 (delapan) tahun  dalam persitiwa tersebut diketahui bahwa hanya anak yang berumur 8 tahun yang masih hidup. [10]

 Terlibatnya anak yang masih di bawah umur dalam tindak pidana terorisme menjadi persoalan karena umur anak menentukan mengenai bagaimana seharusnya ia diperlakukan setelahnya apalagi tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Anak tidak dapat diperlakukan sama seperti orang dewasa, sehingga konsep pertanggungjawaban pidana yang diterapkan pada orang dewasa tidak dapat diterapkan juga pada anak karena terdapat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara khusus mengatur mengenai anak dan batas umur anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, proses peradilan perkara anak, upaya diversi, dan lain-lain.

Maraknya anak yang terlibat sebagai pelaku dalam tindak pidana terorisme pada dasarnya mewajibkan Negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak di bawah umur yang terlibat dalam tindak pidana terorisme, guna memberikan pemenuhan hak dan bantuan untuk memberikan rasa aman, karena masyarakat terlanjur memberikan stigma negatif dan menganggap bahwa anak tersebut dapat membahayakan, selain itu gangguan psikologi berat yang dialami oleh anak atas kejadian aksi bom dapat berpengaruh buruk pada kesehatan dan masa depan anak.[11]

Pentingnya perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme adalah untuk menjamin hak-hak anak dan kepentingan anak dimasa depan. Perlindungan anak sebagai pelaku terorisme masih sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum yang lebih memfokuskan kepada pelaku kejahatan terorisme anak lebih membutuhkan jaminan kepastian hukum tentang kedudukan mereka agar kejahatan tersebut tidak menjadi ancaman traumatis yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Anak Pelaku terorisme sejatinya korban delik, bukan pelaku delik, seharusnya dilindungi, bukan malah diadili dan dipenjara. Maka, ketentuan hukum yang berlaku menimbulkan polemik hukum apakah sanksi pidana boleh diterapkan kepada anak yang teribat dalam kejahatan terorisme, karena bertentangan dengan undang-undang sistem peradilan anak serta undang-undang perlindungan anak, yang memberikan perlindungan khusus bagi anak sebagai pelaku maupun korban dari tindak pidana terorisme tersebut.



Referensi :

[1] Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, PT. Refika Aditama, Bandung. hal.15

[2] Ibid., hal.17

[3] Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Pensil, Jakarta. 2012, Hal. 52

[4] Ibid., hal.53

[5] Ibid., hal.54

[6] Koesparmono Irsan, Terorisme, Jurnal Studi Kepolisian ISSN 0216-2563, Edisi 057 Juli – September 2003, Jakarta, hal. 5

[7] Ibid., hal. 6

[8]  Ninis Chairunnisa, Pelaku Bom di Surabaya Satu Keluarga, Begini Pembagian Tugasnya, <https://nasional.tempo.co/read/1088460/pelaku-bom-di-surabaya-satu-keluarga-begini-pembagian-tugasnya>, (Tempo 2018), di akses pada 9-4-2021.

[9] Ibid.,

[10] Tsarina Maharani, Fakta-fakta Ledakan Bom di Sidoarjo Sejauh Ini, <https://m.detik.com/ news/berita/d-4018994/fakta-fakta-ledakan-bom-di-sidoarjo-sejauh-ini>, di akses pada 9-4-2021.

  • La Ode Muntu, Skripsi dengan Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak 
  • Gambar : https://tirto.id/kpai-anak-harus-dilindungi-dari-pengaruh-terorisme-baPS

Komentar

Popular Posts All Time