77 th Merdeka : Bayangan Imperialisme Modern
Dari Imperialisme Kuno Ke Imperialisme Modern
Bagaimana ia dari imperialisme kecil menjadi imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu menjadi imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern? Bagaimana imperialisme kuno itu berganti bulu sama sekali menjadi imperialisme modern, yakni bukan saja berganti besarnya, tetapi juga berganti wujudnya, berganti sifatnya, berganti caranya, berganti sepak terjangnya, berganti wataknya, berganti stelselnya, berganti sitemnya, berganti segala-galanya, –dan hanya satu yang tidak berganti padanya, yakni kehausannya mencari rejeki?
Kamu belum mengetahui hal ini? Pembaca, imperialisme adalah dilahirkan oleh kapitalisme. Imperialisme adalah anaknya kapitalisme. Imeprtialisme tua dilahirkan oleh kapitalisme tua, imperialisme modern dilahirkan oleh kapitalisme modern. Wataknya kapitalisme tua adalah berbeda besar dengan wataknya kapitalisme modern. Sedang kapitalisme tua belum kenal akan tempat-tempat pekerjaan sebagai sekarang, belum kenal pabrik-pabrik sebagai sekarang, belum kenal industri-industri sebagai sekarang, belum kenal bank-bank sebagai sekarang, belum kenal perburuhan sebagai sekarang, belum kenal cara produksi sebagai sekarang, –sedang kapitalisme tua itu cara produksinya hanya kecil-kecilan saja dan didalam segala-galanya berwatak kuno, maka kapitalisme modern
adalah menunjukkan kemodernan yang hebat sekali: tempat-tempat perkejaan pekerjaan yang ramainya menulikan tenaga, pabrik-pabrik yang asapnya menggelapkan angkasa, bank-bank yang tingginya mencakar langit, perburuhan yang memakai ribuan ketian Proletar, pembikinan barang yang hantam kromo banyaknya sampai bergudang-gudang. Maka imperialisme kuno yang dilahirkan oleh kapitalisme tua itu, –imperialismenya Oost Indische Compagnie dan imperialismenya Cultuurstelsel, –imperialisme kuno itu niscayalah satu watak dengan “ibunya”, yakni watak tua, watak kolot, watak kuno. Tidaklah kenal imperialisme kuno itu akan cara-cara “modern”, tidaklah kenal ia akan cara-cara “sopan”. Ia menghantam kekakanan dan kekiri, menanam dan menjaga stelsel (sistem, ed.) monopoli dengan kekerasan dan kekejaman. Ia mengadakan sistem paksa dimana-mana, ia membinasakan ribuan jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-kerajaan dengan kekerasan senjata, membasmi milliunan tanaman cengkeh dan pala yang membahayakan keuntungannya. Ia melahirkan aturan contingenten (serupa pajak, dibayar dengan barang-barang hasil bumi oleh Kepalakepala) dan leverantien (kepala-kepala dipastikan setor barangbarang hasil bumi yang dibeli oleh Compagnie. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu Compagnie-lah yang menentukan) yang sangat sekali berat dipikulnya oleh Rakyat, ia dengan terangterangan melahirkan aturan-aturan yang memadamkan perdagangan Indonesia, ia dengan terang-terangan menjalankan politiknya memecah-mecah. Ia menjalankan tindakan-tindakan kekerasan, yang menurut Profesor Snouck Hurgronje, “sukar sekali kita menahan kita punya rasa jemu dan rasa jijik”. Ia di jaman akhir-akhirnya melahirkan suatu stelsel (sistem, ed.) kerja paksa baru, yang lebih kejam lagi, lebih menguntungkan lagi, lebih memutuskan nafas lagi, yakni culturrstelsel yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya Rakyat. Ya, pendek kata, sangat sekali “kuno” didalam sepak terjang dan wataknya: paksaan dan perkisaan terang-terangan adalah ia punya nyawa!
Tetapi lambat laun di Eropa modern –kapitalisme mengganti vroeg kapitalisme yang sudah tua bangka. Pabrik-pabrik, bengkel- bengkel, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan, kota-kota industri timbullah seakan-akan jamur di musim dingin, dan tatkala tatkala modern kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal kelebihannya alias surpluskapitaal-nya lalu ingin dimasukkan di Indonesia, –modern imperialisme lalau menjelma dimuka bumi, ingin menggantikan imperialisme kuno yang juga sudah tua bangka.
Tak berhenti-henti, –begitulah saya tempo hari menulis dalam saya punya pleidooi–, tak berkenti-henti modern imperialisme itu memukul-mukul diatas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti-henti kampiun-kampiunnya modern imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam-hantam diatas pintu gerbang itu, tak berhenti-henti penjaga-penjaga pintu gerbang itu saban-saban sama gemetar mendengar dengungnya pekik “naar vrij arbeid!”, “kearah kerja merdeka!” daripada kaum-kaum modern kapitalisme yang tak mau memakai lagi sistem sistem kuno yang serba paksa itu, melainkan ingin mengadakan sistem baru yang memakai “kaum buruh merdeka”, “penyewaan tanah merdeka”, “persaingan merdeka”, dan lain sebagainya. Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang makin membanjir, sebagai gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah Agrarische wet dan Suikerwet-de Waal didalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikelir (swasta, ed.) di Indonesia, –mengadakan pabrik-pabrik gula dimana-mana, kebunkebun teh dimana-mana, onderneming-onderneming (perkebunan,red.) tembakau dimana-mana, dan lain sebagainya; tambahan lagi modal partikelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta api, tram, kapal, atau pabrik-pabrik yang lain-lain. Imperialisme kuno makin lama makin layu, makin lama makin mati, imperialisme modern mengganti tempat-tempatnya” Cara pengambilan rejeki dengan jalan monopoli dan paksa makin lama makin diganti cara pengambilan rejeki dengan jalan persaingan merdeka dan buruh merdeka, cara pengambilan rejeki yang menggali untung bagi “negeri” Belanda makin lama makin mengerut, terdesak oleh pengambilan rejeki secara baru yang mengayakan modal partikelir.
Cara pengambilan berubah, sistemnya berubah, wataknya berubah, –tetapi banyakkah perubahan bagi Rakyat Indonesia? Banjir harta yang keluar dari Indonesia bukan semkin surut, tetapi malahan makin besar, drainage Indonesia malahan makin makan! “Tak pernahlah untung bersih itu mengalirnya begitu deras sebagai justru dibawah pimpinannya exploitatant (penghisap, ed.) baru itu; aliran itu hanyalah melalaui jalan-jalan yang lebih tenang”, begitulah seorang politikus pernah menulis…
Memang, bagi Rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanyalah perubahan caranya pengambilan rejeki; bagi Rakyat Indonesia, imperialisme kuno dan imperialisme modern dua-dua tinggal imperialisme belaka, dua-dua tinggal pengangkutan rejeki Indonesia keluar pagar, dua-duanya tinggal drainage. Dan drainage ini pun didalam jaman modern imperialisme makin membanjir! Raksasa imperialisme modern itu tidak tinggal raksas saja, raksasa imperialisme modern itu dikemudian hari menjadillah raksasa yang bertambah kepala dan bertambah tangannya: Sejak adanya opendeurpolitiek (politik pintu terbuka, ed.) didalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rejeki di Indonesia, bukanlah lagi modal Belanda saja, tetapi juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional karenanya. Raksasa “biasa” yang dulu berjengkelitan diatas padang kerejekian Indonesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh!
Dan bukan saja bermulut sepuluh! Juga jalannya mencari rejeki kini bukan satu jalan saja, tetapi jalan yang bercabang-cabang tiga empat. Bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan barangbarang biasa sebagai di jamannya imperialisme kuno, bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan pala atau cengkeh atau merica atau kayu manis atau nila, tetapi kini juga menjadi pasar penjualan barang-barang keluarannya kepabrikan negeri asing, juga menjadi tempat penanaman modal asing, yang di negeri asing sendiri sudah kehabisan tempat, pendek kata: juga menjadi afzetgebied dan exploitatiegebied-nya surplus kapital.
Terutama “jalan” yang belakangan inilah, yakni “jalan” penanaman modal asinng disini, adalah yang paling hebat dan makin bertambah hebat: pabrik-pabrik gula bukan puluhan lagi tapi ratusan, onderneming teh dibuka dimana-mana, onderneming karet tersebar kesemua jurusan, onderneming kopi, onderneming kina, onderneming tembakau, onderneming sereh, tempat-tempat timah, tambang tambang emas, tempat pengeboran minyak, tempat perusahaan besi, bingkil-bingkil, kapal-kapal dan tram-tram, –semua itu adalah penjelmaannya penanaman modal sing disini, semua itu adalah menggambarkan bagimana hebatnya raksas itu memperusahakan Indonesia menjadi exploitatiegebied-nya surpluskapitaal. Ribuan, tidak, milyunan kekayaan yang saban tahun meninggalkan Indonesia, mengayakan modern-kapitalisme di dunia Barat.
· Perhatikanlah angka-angka dibawah ini, perhatikanlah angka-angka daripada besarnya impor dan ekspor buat 1924-1930.
Buat Afrika Selatan Buat Filipina Buat India Buat Mesir Buat Ceylon (Srilangka, ed.)
118,7/100 123,1/100 123,3/100 129,9/100 132,8/100
Apa yang ternyata dengan angka-angka ini? Dengan angka-angka ini ternyatalah apa yang saya katakan diatas: bahwa Indonesia adalah terutama sekali tempat penanaman modal asing, yang niscaya barang hasilnya lalu dibawa keluar; bahwa Indonesia dus dihinggapi imperialisme yang terutama seklai mengekspor, imperialisme yang didalam masa yang “normal” rata-rata dua kali jumlah harganya rejeki yang ia angkuti keluar daripada yang ia masukkan kedalam; bahwa Indonesia dus sangat sekali menderita drainage.
Amboi, rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor! –begitulah saya tempo hari menulis dalam “Suluh Indonesia Muda”–, rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor, bahwasanya, memang suatu bandingan yang celaka sekali, suatu bandingan yang memang memegang rekor daripada semua drainage yang ada di seluruh muka bumi! Indonesia yang celaka! Sedang bandingannya ekspor/impor di negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada “mendingnan”, sedang bandingan itu didalam tahun 1924.
Buat Afrika Selatan Buat Filipina Buat India Buat Mesir Buat Ceylon (Srilangka, ed.)
118,7/100 123,1/100 123,3/100 129,9/100 132,8/100
Maka buat Indonesia ia menjadi yang paling celaka, yakni 220,4/100! Dua ratus dua puluh koma empat prosen besarnya ekspor dibandingkan dengan impor, –herankah kita, kalau seorang ahli ekonomi sebagai Profesor van Gelderen tersia-sia mencari angka yang lebih tinggi, dan berkata bahwa “kalau dibandingkan angka-angka di Hindia dengan angka-angka negeri lain, maka ternyatalah bahwa tidak ada satu negeri dimuka bumi ini yang prosentasenya begitu tinggi seperti Hindia belanda”? Herankah kita, kalau seorang Komunis C. Stantin, yang toh biasa melihat angka-angka yang “kejam”, menyebutkan imperialisme di Indonesia itu suatu imperialisme yang “mendirikan bulu”
Dua ratus dua puluh koma empat prosen besarnya ekspor, –dan apakah yang diekspor keluar itu? Yang diekspor keluar ialah terutama sekali “hasil onderneming” dan minyak. Yang diekspor ialah gula, karet, tembakau, teh, minyak tanah, bensin, dan lain sebagainya, yang menurut angka-angka diatas tadi total generalnya (keseluruhannya, red.) di jaman “normal” paling “apes” f 1.500.000.000—zegge: seribu lima ratus juta rupiah setahun-tahunnya, sebagaimana buat percontohan saya sajikan dibawah ini (angka-angka buat tahun 1937):
Hasil-hasil minyak tanah Arachides Karet Damar Kopra Gambir Getah Perca Jelutung Kopi Kayu Kulit Babakan kina Pil kina Kopi Jagung Kain-kain Minyak-minyak (dari tanaman) Pinang Rotan Beras Rempah-rempah total Spiritus Arang batu Gula total Tembakau total Tepung ketela Teh Timah Bungkil Kapuk, serat nanas, Lain-lain hal
149.916.000 4.335.000 417.055.000 9.911.000 73.083.000 1.194.000 1.895.000 2.073.000 2.405.000 9.106.000 16.067.000 5.454.000 1.821.000 74.376.000 4.033.000 5.425.000 14.766.000 7.307.000 8.521.000 2.373.000 33.409.000 3.125.000 5.019.000 365.310.000 113.926.000 21.423.000 90.220.000 93.864.000 4.132.000 38.250.000 42.484.000
Total jenderal (keseluruhan, ed.) f 1.622.278.000
Inilah daftar daripada “makan jalan” didalam pesta untuk merayakan “beschaving-en-orde-en-rust” yang jadi cangkingannya imperialisme modern di Indonesia! Perhatikanlah nama-nama dan angka-angka yangn dicetak dengan huruf tebal: Kecuali minyak tanah dan timah, maka nama-nama itu adalah semuanya nama-nama hasil “onderneming landbouw”, dan semuanya pun angka-angka yang paling gemuk. Karet sekian milyun, kopra sekian milyun, kopi sekian milyun, minyak-minyak tanaman sekian milyun, gula sekian milyun, tembakau, teh, kapuk serat nans sekian milyun, –dari delapan macam hasil onderneming landbouw ini saja jumlah ekspor sudah f 1.186.986.000, atau kurang lebih 75% dari semua jumlah ekspor yang f 1.622.278.000 itu! Konklusi? Konklusi ialah, bahwa imperialisme modern yang mengaut-aut di padang perekonomian Indonesia itu ialah terutama sekali imperialisme pertanian, atau lebih tegas: landbouw-industrieel-imperialisme. Konklusi ialah, bahwa bagi perjuangan kita adalah sangat sekali pentingnya kita antara lain-lain mengadakan serikat-serikat tani, sebagai nanti akan kita terangkan dibagian 8 dari ini risalah.
“Makan jalan” ekspor setahun-tahunnya rata-rata f 1.500.000.000 rupiah! Tetapi berapakah besarnya untung yang didapatnya dari penjualan barang yang sekian milyun itu? Ondernemersraad, yakni serikatnya kaum modal sendiri, memberi jawab sendiri yang terus terang diatas pertanyaan ini: setahun-tahunnya mereka mendapat untung sebesar 9% sampai 10 % dari modal induknya, –didalam
tahun 1924 sejumlah f 490.000.000, didalam tahun 1925 sejumlah f 540.000.000, didalam setahun-tahunnya dus rata-rata f 515.000.000. untung bersih lima ratus limabelas milyun rupiah setahun, dan ini adalah 9% sampai 10% dari mereka punya modal induk! Menjadi dus mereka punya modal induk, yakni jumlahnya semua modal yang ditanam di Indonesia, adalah: 100/9 x f 515.000.000 = f 5.722.000.000, atau hampir f 6.000.000.000! amboi, semua angka-angka hanya milyunan saja, tidak ada yang ribuan, ya, tidak ada yang ketian atau laksaan! Jumlah modal: enam ribu miyun, jumlah harganya barang yang saban tahun diangkuti keluar pasar dunia: seribu lima ratus milyun, jumlah untung bersih saban tahun: lima ratus limabelas milyun!
Sedang bagi Marhaen, yang membanting tulang dan berkeluh-kesah mandi keringat bekerja membikin untung sebesar itu, rata-rata didalam jaman “normal” tak lebih dari delapan sen seorang sehari…
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA
Menuju Indonesia Merdeka 100 %
Sumber :
Buku : Soekarno-Mentjapai Indonesia Merdeka
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda