Perdamaian dan Akibat Hukumnya (Hukum Acara Peradilan Agama)
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Drs. H. Suroso, S.H., M.Hum.
(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Kendari)
A. KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA
1. Perkawinan (pencegahan, pembatalan, poligami)
2. Perceraian
3. Kewarisan
Kewenangan Pengadilan Agama ditegaskan dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3. Wakaf dan shadaqah.
Kewenangan mengenai bidang-bidang tersebut tidak terpisahkan, tidak bersifat parsial, seluruhnya utuh menjadi kewenangan Pengadilan Agama tanpa berbagi dengan Pengadilan Umum. Dengan demikian undang-undang ini mencoba melenyapkan titik singgung kewenangan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Umum.
Kemudian kewenangan tersebut ditambah lagi dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan Agama, dalam pasal 49 menyebutkan bahwa kewenangan Pengadilan Agama adalah sebagai sebagai berikut :
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wakaf
4. Hibah
5. Shadaqah
6. Zakat
7. Ekonomi Syariah
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah :
1. izin beristri lebih dari seorang
2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10. penyelesaian harta bersama;
11. mengenai penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. pencabutan kekuasaan wali;
17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal usul seorang anak;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sedangkan yang dimaksud ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan;
k. Bisnis syari’ah.
HAK OPSI :
UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama dalam penjelasan umumya:
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunankan dalam pembagian warisan.”
HAK OPSI DIHAPUS :
UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama dalam penjelasan umumnya :
“Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunankan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus.
Bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi “Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Pasal 55 ayat (2) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang berbunyi “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. Sedangkan Pasal 55 ayat (3) berbunyi “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013, pasal tersebut : dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
· Pencegahan perkawinan
Pasal 13 UU No. 1 Tahun 74 : perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Jika calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan maka orang tua, keluarga, wali pengampu dari dari calon mempelai dapat mengajukan pencegahan perkawinan kepada Pengadilan Agama. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu, dari salah seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 14 ayat 1).
· Pembatalan perkawinan
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 74 : perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan : para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus. (Pasal 23).
· Poligami
Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 74 : pada asasnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2) Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk bwristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan. Pengadilan hanya member izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat mejalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan poligami harus memenuhi syarat-syarat :
a. Adanya persetujuan dari istri/istri/istri;
b. Adanya kepastian bahawa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
· Perceraian
a. Cerai talak
Cerai talak diajukan oleh pihak suami sebagai pemohon melawan istri sebagai termohon, yang petitumnya suami memohon untuk diijinkan menjatuhkan talak terhadap istri. Prosedur pengajuan permohonan cerai talak dan proses pemeriksaannya diatur dalam Pasal 66 s/d 72 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana talah diubah dengan UU No 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan UU No 50 Tahun 2009 jo Pasal 14 s/d 36 PP No 9 Tahun 1975.
Selama proses pemeriksaan celai talak, sebelum sidang pembuktian istri dapat mengajukan gugatan rekonvensi mengenai nafkah anak, nafkah istri, nafkah iddah, mut’ah. Sedangkan harta bersama dan hadlonah sedapat mungkin diajukan dalam perkara tersendiri.
Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah iddah atas suami untuk istrinya, sepajang istri tidak nusyuz, dan menetapkan kewajiban mut’ah (Pasal Pasal 41 huruf c UU No 1 Tahun 1974jo Pasal 149 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam).
b. Cerai gugat
Cerai gugat diajukan oleh istri sebagai penggugat melawan suami sebagai tergugat, yang petitumnya mohon agar pengadilan agama memutuskan perkawinan antara penggugat/istri dengan tergugat/suami. Prosedur pengajuan gugatan cerai dan proses pemeriksaannya diatur dalam Pasal 73 s/d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana talah diubah dengan UU No 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan UU No 50 Tahun 2009 jo Pasal 14 s/d 36 PP No 9 Tahun 1975.
Gugatan mengenai nafkah anak, nafkah istri, nafkah iddah, mut’ah dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Sedangkan harta bersama dan hadlonah sedapat mungkin diajukan dalam perkara tersendiri.
B. CARA MENGAJUKAN GUGATAN
Beberapa hal yang harus dipenuhi/dimuat dalam membuat gugatan, antara lain :
- Identitas
Menyebut identitas para pihak baik penggugat maupun tergugat, minimal : nama, umur/tanggal lahir, dan tempat tinggal/alamat.
- Posita
Dasar tuntutan, menjelaskan dasar hukum, peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, alasan-alasan yang dijadikan untuk menuntut, uraian peristiwa/kejadian yang mendasari gugatan.
- Petitum
Tuntutan, apa yang diminta oleh penggugat agar diputuskan oleh pengadilan.
1. Syarat sahnya gugatan
Beberapa hal yang harus dipenuhi agar supaya gugatan tidak cacat formil atau tidak sah.
a. Kompetensi
Kompetensi absolut (absolute competency) : wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (pengadilan negeri, pengadilan tinggi) maupun lingkungan peradilan lain (pengadilan negeri, pengadilan agama). Wewenang mutlak ini menjawab pertanyaan ke pengadilan yang mana gugatan harus diajukan ? ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kompetensi relative (relative competency) : wewenang badan pengadilan dalam memeriksa perkara berdasarkan tempat pengadilan tersebut, berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Wewenang relatif ini menjawab pertanyaan ke pengadilan di mana gugatan harus diajukan ?
b. Error In Persona
- Diskualifikasi in person, salah orang : Belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak, di bawah kuratele
Kuasa yang bertindak tidak memenuhi syarat : tidak mendapat surat kuasa, surat kuasa tidak sah
- Gemis Aanhoedang Heid
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak sah. Contoh pengurus yayasan digugat secara pribadi
- Plurium Litis Consortium
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap
c. Obscuur Lible
- Tidak menjelaskan dasar hukum (rechtground) dan kejadian yang mendasari gugatan
- Tidak jelas obyek yang disengketakan :
Tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas-batas, luas/ukuran, tidak ditemukan obyek sengketa
- Penggabungan tuntutan yang masing-masing berdiri sendiri :
Komulasi subyektif : beberapa tergugat
Komulasi obyektif : beberapa gugatan terhadap tergugat
- Bertentangan antara posita dan petitum
- Petitum tidak terperinci
· Perbedaaan Wanprestasi dan Perbuatan melawan Hukum :
- Dari segi sumber :
Wanprestasi timbul dari persetujuan (Agreement)
PMH lahir karena UU, bisa dalam bentuk pelanggaran pidana (factum delictum), bisa dalam bentuk kesalahan perdata (law of tort), atau bisa juga bertindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata.
- Dari segi timbulnya hak :
Dalam wanprestasi diperlukan lebih dulu proses, pernyataan lalai (ingeberkestelling). Pada PMH tidak diperlukan somasi, disitu terjadi PMH langsung timbul hak menuntut (rechtsvordering) atau action, atau claim.
- Dari segi tuntutan ganti rugi :
Pada wanprestasi kerugian ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian, jenis dan jumlah ganti rugi telah diatur terperinci dalam ps 1246 BW, ganti rugi yang dituntut harus terperinci.
Pada PMH sesuai ketentuan ps 11365 BW : tidak menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, juga tidak memerlukan perincian. Dengan demikian dapat dituntut ganti rugi yang dapat diperhitungkan secara obyektif dan konkrit, meliputi materiel dan moril. Atau dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition). Dalam praktek patokan bersarnya jumlah ganti rugi PMH berprinsip pada Ps. 1372 BW yakni : didasarkan pada penialaian kedudukan social ekonomi kedua belah pihak.
d. Nebis In Idem
Nebis in idem lazim disebut juga Exeptio Rei Judicatae :
- Apa digugat/diperkarakan sudah pernah diperkarakan
- Dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan putusan bersifat positif (menolak atau mengabulkan).
- Obyek sama.
- Subyek sama.
- Materi pokok perkara sama.
e. Gugat premature
Gugat masih tertunda, karena ada factor yang menangguhkan :
- Apa yang hendak digugat belum terbuka karena syarat yang ditentukan UU belum terjadi, mis. waris baru terbuka kalau pewaris meninggal dunia.
- Apa yang hendak digugat tertunda oleh factor syarat yang dijanjikan, mis. Hutang yang belum jatuh tempo.
f. Rei Judicata Deductae
Apa yang digugat masih tergantung pemeriksaannya dalam proses peradilan :
- Perkara yang digugat sudah pernah diajukan dan belum diputus.
- dan prosesnya masih berlangsung pada tingkat banding atau kasasi.
- dengan demikian yang digugat masih tergantung (aanhanging geding).
g. Apa yang digugat telah dikesampingkan
Dalam hal ini terdapat factor Set Aside, berupa :
- Apa yang digugat sudah dipenuhi;
- sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat;
- sudah melepaskan diri (menolak sebagai ahli waris);
- factor lewat waktu (dalu warsa).
2. Prosedur pendaftaran gugatan
Penggugat mengajukan gugatan di bagian pendaftaran perkara, setelah ditaksir biayanya, lalu membayar di kasir sesuai jumlah taksiran biaya perkara dalam SKUM. Setelah membayar biaya perkara gugatan diberi nomor perkara dan diregister dalam Buku Register Perkara Pengadilan Agama.
3. Gugatan sederhana
ü Perma No 2 Tahun 2015 tentang gugatan sederhana
ü Perma No.14 Tahun 2016 tentang gugatan sederhana ekonomi syari,ah
ü Perma No. 4 Tahun 2019 tentang gugatan sederhana
- Gugatan perdata (cidera janji atau perbuatan melawan hukum) yang nilai gugatan materielnya paling banyak Rp. 200.000.000,-(perma no 2/2015), Rp. 500.000.000,-(perma no 14/2019),
- Hakim tunggal
- Penggugat dan tergugat tidak boleh lebih dari satu, kecuali mempunyai kepentingan hukum yang sama, mis. Suami istri
- Penggugat dan tergugat berdomisili di daerah hukum yang sama
- Apabila penggugat berdomisili di luar wilayah hukum tergugat, penggugat dalam mengajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisisli tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat.
- Penggugat dan tergugat harus hadir sendiri dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum
- Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari sejak hari sidang pertama
- Penggugat wajib melampirkan surat bukti yang sudah dilegalisasi pada saat pendaftaran perkara
Upaya hukum – keberatan – kepada ketua pengadilan, dilampiri dg memori keberatan- jangka waktu 7 hr setelah putus/PBT, pemberitahuan keberatan paling lama 3 hari sejak diajukan keberatan, kontra memori keberatatan diajukan paling lama 3 hr setelah pemberitahuan keberatan.
- Pemeriksaan keberatan dilakukan oleh majelis hakim
- Pemeriksaan keberatan hanya dilakukan atas : putusan dan berkas gugatan sederhana, memori keberatan, dan kontra memori keberatan, tidak dilakukan pemeriksaan tambahan
- Merupakan putusan akhir, tidak ada upaya hukum banding maupun kasasi
Putusan yang tdk ada upaya keberatan, maka putusan berkekuatan hukum tetap
C. TAHAPAN PERSIDANGAN
Setelah penggugat mendaftarakan gugatannya di kepaniteraan pengadilan dan melunasi biaya perkara. Gugatan tidak kan didaftar sebelum membayar biaya perkara (pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 RBg). Selanjutnya para pihak menunggu panggila untuk sidang, panggilan harus dilaksanakan secara resmi dan patut, resmi artinya dilaksakan oleh petugas pengadilan (jurusita pengganti) dengan memakai surat panggilan (exploit, relaas), patut artinya : panggilan harus dilaksanakan tiga hari sebelum sidang. Pada prinsipnya persidangan harus mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), oleh karena itu tergugat harus dipanggil dengan resmi dan patut.
1. Perdamaian dan akibat hukumnya
Pada tahap awal pemeriksaan sidang jika pihak penggugat dan tergugat hadir di persidangan, kepada kedua belah pihak diperintahkan untuk upaya mediasi. Apabila berhasil damai dibuatlah akta perdamaian, lalu berdasarkan akta perdamaian tersebut perkara diputuskan, kedua belah pihak dihukum untuk mentaati perdamaian yang telah diabuatnya. Terhadap putusan ini para pihak tidak ada upaya hukum banding atau kasasi.
2. Pembacaan gugatan
Setelah mediator tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak pemeriksaan perkara dimulai dengan membacakan gugatan penggugat. Penggugat dibolehkan merubah atau mencabut gugatannya sepanjang tergugat belum mengajukan jawaban, perubahan atau pencabutan gugatan setelah jawaban tergugat harus mendapat persetujuan dari tergugat.
3. Jawab-Jinawab.
Setelah gugatan dibacakan di persidangan tergugat diberikan kesempatan untuk menjawab gugatan penggugat, jawaban dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban tergugat bisa berupa pengakuan, bantahan, tangkisan maupuan sangkalan tetang pokon perkara, tidak dipisah-pisahkan, tetapi disatukan dalam jawaban sehingga tidak merugikan pihak tergugat. Dalam jawaban dimungkinkan ada eksepsi, adalah suatu sanggahan atau bantahan dari tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara. Sedangkan sangkalan adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara.
Eksepsi dibedakan menjadi dua :
Eksepsi prosesuil, adalah upaya yang menuju gugatan tidak dapat diterima, meliputi:
- Excepti van gewijsdezaak, eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan telah diputus oleh hakim sebelumnya.
- Disqulificatoir exceptie, eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan gugatan.
- Eksepsi terhadap gugatan yang kabur (obscuur libel).
Eksepsi materiil, merupakan bantahan lain yang berdasarkan hukum materiil, meliputi :
- Dilatoir exceptie, eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan tergugat belum dapat dikabulkan karena penggugat memberi penundaan pembayaran.
- Premtoir exceptie, eksepsi yang menghalangi dikabulkannya tuntutan karena, mis. gugatan telah lampau waktu (verjaard), hutangnya telah dihapuskan (kweijtschelding).
ü Replik : tanggapan penggugat atas jawaban dari tergugat.
ü Duplik : tanggapan tergugat atas replik dari penggugat.
ü Gugat Balik (gugat rekonvensi) : gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara kedua belah pihak. Mis. penggugat menuntut dipenuhinya perjanjian, sedangkan tergugat menuntut diputuskannya/dibatalkannya perjanjian.
Gugatan rekonvensi dapat meliputi segala hal, kecuali :
- Bila penggugat dalam konvensi bertindak karena sesuatu kualitas tertentu, sedangkan tuntutan rekonvensi mengenai diri penggugat pribadi atau sebaliknya.
- Bila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugat konvensi tidak berwenang memeriksa gugat rekonvensi.
- Dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.
Gugat rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat Ps. 132 b (1) HIR, 158 (1) Rbg. Jadi harus diajukan pada sidang pertama, pengertian tersebut diperluas sepanjang dalam tahap jawab-menjawab masih dibolehkan mengajukan gugat rekonvensi. Jika tahap pembuktian sudah dimulai maka gugat rekonvensi tidak diperbolehkan.
4. Pembuktian
Tugas hakim :
- Mengkonstatir : melihat, mengakui/membenarkan peristiwa yang diajukan telah terjadi.
- Mengkwalifisir : menilai peristiwa yang terjadi itu termasuk hubungan hukum apa, yang mana, dengan kata lain menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir.
- Mengkonstituir : menerapkan hukumnya.
· Alat-alat bukti
1. Alat bukti tertulis (surat)
2. Saksi
3. Persangkaan.
4. Pengakuan
5. Sumpah.
6. Pemeriksaan setempat (descente).
5. Putusan
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antara para pihak.
Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.
Kekuatan putusan ada 3 macam : kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
Susunan dan isi putusan :
1. Kepala putusan, setiap putusan pengadilan harus mempunyai irah-irah/kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk pengadilan agama ditambah dengan : “Bismillahirrahmaanirrahin”.
2. Identitas para pihak, gugatan itu sekurang-kurangnya ada dua pihak, dan yang harus dimuat : nama, umur, alamat, dan nama pengacaranya kalau ada.
3. Pertimbangan, dalam pertimbangan terdiri dari dua bagaian, yaitu bagain tentang duduk perkaranya, dan bagian tentang hukumnya.
4. Amar/diktum, merupakan jawaban atas tuntutan dalam gugatan, ini berarti diktum merupakan tanggapan dari petitum. 1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan :
1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
2. Putusan constitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan paksa, misalnya memutuskan ikatan perjanjian.
3. Putusan condemnatoir, adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam putusan yang bersifat condemnatoir amar putusan harus mengandung kalimat : menghukum tergugat (berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, menyerahkan sesuatu, membingkar sesuatu, menyerahkan sejumlah uang, membagi, dan mengosongkan.
Dari segi isinya terdiri dari 5 (lima) macam :
1. Niet Onvankelijke Verklaark (NO), yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima kerena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum
2. Putusan gugur, putusan gugur dijatuhkan oleh pengadilan apabila penggugat tidak hadir menghadap padahal sudah dipanggil secara resmi dan patut. Dalam hal ini gugatan dinyatakan gugur dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
3. Putusan verstek, adalah putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim tanpa hadirnya tergugat, dan ketidakhadirannya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut.
4. Putusan ditolak, apabila gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan dan di depan sidang pengadilan penggugat tidak dapat membuktikan tentang kebenaran dalil gugatannya.
5. Putusan dikabulkan, apabila gugatan yang diajukan ke pengadilan dapat dibuktikan kebenaran dalil gugatannya.
Dari segi jenisnya terdiri dari 3 (tiga) macam :
1. Putusan sela, putusan yang belum merupakan putusan akhir.
2. Putusan akhir, yang bisa bersifat declaratoir, constitutif, dan condemnatoir.
3. Putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad), adalah putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum verzet, banding, atau kasasi.
D. Upaya Hukum
1. Perlawanan (verzet), upaya hukum terhadap putusan verstek, perlawanan ini disediakan bagi tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dikalahkan dalam putusan verstek upaya hukumnya banding. Jangka waktu verzet adalah paling lama 14 hari setelah isi putusan diberitahukan kepada tergugat.
2. Banding, para pihak yang tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama upaya hukumnya banding ke Pengadilan Tinggi. Pengadilan tinggi merupakan pengadilan tingkat terakhir untuk memperoleh keadilan. Jangka waktu banding adalah paling lama 14 hari setelah putusan diucapkan bagi pihak yang hadir pada saat pembacaan putusan, bagi pihak yang tidak hadir paling lama 14 hari setelah isi putusan diberitahukan.
3. Prorogasi, ialah mengajukan suatu sengketa berdasarkan kesepakatan/persetujuan kedua belah pihak kepada hakim dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi (pengadilan tinggi).
4. Kasasi, apabila para pihak tidak puas atas putusan pengadilan tinggi, para pihak dapat melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung, jangka waktunya paling lama 14 hari setelah isi putusan diberitahukan kepada para pihak. Mahkamah Agung memutuskan mengenai penerapan hukumnya atas permohonan kasasi yang diajukan oleh para pihak. Alasan kasasi antara lain :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
5. Peninjauan kembali, putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir, dan putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan (verzet), maka dapat diajukan peninjaun kembali. Adapun alasan peninjauan kembali antara lain:
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan (ditemukan bukti baru).
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang telah bertentangan satu dengan yang lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
6. Perlawanan pihak ketiga (dedenverzet), pada asasnya putusan itu hanya mengikat para pihak yang berperkara, akan tetapi apabila ada pihak ketiga yang dirugikan itu maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan acara biasa. Pihak ketiga yang mengajukan perlawanan itu bukan hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata dirugikan hak-haknya.
E. PELAKSANAAN PUTUSAN
Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan isi putusan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yang memutus perkara.
Asas eksekusi : putusan telah berkekuatan hukum tetap, putusan tidak dijalankan secara suka rela, putusan mengandung amar condemnatoir (menghukum), dan eksekusi dipimpin oleh ketua pengadilan dan dilaksanakan oleh panitera.
Eksekusi terdiri dari dua jenis :
1. Eksekusi riil, dapat berupa pengosongan, penyerahan, pembagian, pembongkaran, berbuat sesuatu, dan memrintahkan atau menghentikan sesuatu perbuatan.
2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang, yang dilakukan melalui mekanisme lelang.
Prosedur eksekusi :
1. Pemohon mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan.
2. Ketua pengadilan menerbitkan penetapan untuk aanmaning, yang berisi perintah kepada jurusita supaya memanggil termohon eksekusi agar hadir pada sidang aanmaning.
3. Jurusita/jurusita pengganti memanggil termohon eksekusi, seyogyanya juga pemohon eksekusi.
4. Ketua pengadilan melaksanakan sidang aanmaning dengan sidang insidentil yang dihadiri oleh ketua, panitera dan pemohon/termohon eksekusi. Ketua pengadilan menyampaikan peringatan supaya dalam tempo 8 hari dari hari setelah peringatan termohon eksekusi agar melaksankan isi putusan. Panitera membuat berita acara sidang aanmaning dan ditandatangani oleh ketua dan panitera.
5. Apabila dalam tempao 8 hari setelah hari peringatan, pemohon eksekusi melaporkan bahwa termohon eksekusi belum melaksanakan putusan, ketua pengadilan menerbitkan penetapan perintah eksekusi.
6. Setelah ketua pengadilan menerbitkan perintah eksekusi, maka panitera/jurusita melaksanakan eksekusi dengan membuat berita acara pelaksanaan eksekusi.
Gambar by : https://www.sultranesia.id/wp-content/uploads/2020/08/IMG-20200811-WA0144.jpg
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda