Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Reformasi Peradilan - Reformasi Paradigma
SISTEM PERADILAN INDONESIA
(Dr. Agus Setiawan, SH., MH)
SISTEM berasal dari bahasa latin (SYSTEMA) dan bahasa yunani (SUSTEMA) yang artinya adalah suatu kesatuan yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen atau bagian yang dihubungkan bersama untuk memudahkan materi/energi mencapai tujuan.
PERADILAN adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum IN CONCRETO dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal (Jimly Asshiddiqie).
Pembahasan sistem hukum memberikan pengertian yang komprehensif, berkenaan dengan sistem hukum suatu negara. Sistem hukum suatu negara memberikan pengaruh terhadap pembentukan penalaran hukum (legal reasoning). Sebab legal reasioning sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang melakukan penalaran, in casu Hakim (Shidarta, Karakteristik Penalaran hukum dalam konteks keindonesian). Sudut pandang inilah yang menjadi orientasi berpikir yuridis berupa model-model penalaran disiplin hukum.
Alasan : Sistem hukum merupakan produk historis, yakni wujud pergumulan nilai-nilai budaya, sosial, politik, ekonomi dan berbagai aspek nilai lainnya yang diakomodasi ke dalam sistem hukum suatu negara. Sistem Hukum Indonesia sekarang ini bercorak keluarga Eropa Kontinental / Civil Law System. Hal ini disebabkan produk historis yang dibawa kolonial belanda setelah beberapa lama menjajah negeri Indonesia yang kemudian mempengaruhi aspek Substansi, Struktur dan Budaya Hukum Indonesia sampai dnegan sekarang.
Dalam sitem hukum civil law, Undang-Undang ditempatkan sebagai sumber utama hukum. Dalam konteks ini, Pembentuk Undang-Undang dituntut untuk sekomprehensif mungkin agar semua kasus dipersepsikan akan muncul dikemudian hari dapat tercakup dalam pengaturannya. Karena itu tugas Hakim lebih diarahkan kepada penetapan aturannya, supaya tercapai “Kepastian Hukum” bagi semua pihak.
Pada sisi lain sistem Common Law, keaktifan justru dituntut datang dari para Hakim. Undang-Undang bukan merupakan sesuatu yang diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi yang dihadapi di pengadilan. Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka yang utama tidak tertuju pada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun terdapat undang-undang yang dapat dijadikan sebagai acuan, hakim tetap diberikan kesempatan untuk menemukan hukum lain di luar undang-undang dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapinya. Dengan cara berpikir pragmatis tersebut Hakim-Hakim Common Law diarahkan untuk meletakkan nilai kemanfaatan pada tempat utama.
Dalam keadaan demikian Hakim dituntut menyelaraskan makna kemanfaatan dengan kepentingan masyarakat luas, agar tercapai Dimensi Keadilan. Dan untuk melembagakan semangat keadilan maka dihadirkan Dewan Juri di Pengadilan sebagai pranata khas Common Law. Selanjutnya agar nilai kepastian Hukum juga tercakup dalam putusan Hakim, maka asas preseden yang mengikat diterapkan. Tatkala Hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan seksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa.
· Perbedaan Metode Berpikir Hakim
Common Law :
1. The binding force of precedent. Keterikatan hakim pada preseden. demi tujuan asas kemanfaatan.
2. Metode Induktif. Berpikir dari khusus ke umum. Kasus in concreto ditarik keatas untuk menjadi aturan umum yang akan berlaku sebagai preseden berikutnya.
Civil Law :
1. Hakim tidak terikat jurisprudensi. Hakim terikat undang-undang. Demi asas kepastian hukum. “The judge as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the law”. Tidak dituntut hakim yang berpikir (montesquieu).
2. Metode Deduktif. Berpikir dari hal umum (premis mayor) untuk diterapkan ke hal khusus (premis minor) pada kasus in concreto. Aturan umum ada pada undang-undang, ditandai dengan perkataan : “barang siapa..”
Para pakar comparative law termutakhir tidak lagi hanya membedakan dua sistem hukum di dunia, yaitu common law yang didominasi hukum tak tertulis dan presedent, dan yang kedua civil law yang didominasi hukum perundang-undangan, melainkan dewasa ini sudah dikenal pembedaan sistem hukum yang lebih variatif.
1. Civil Law, berlaku di benua eropa dan negara mantan jajahannya;
2. Common Law, berlaku di Inggris, Amerika dan negara berbahasa inggris;
3. Customary Law, berlaku di beberapa negara Afrika, Cina dan India;
4. Muslim Law, berlaku di negara Muslim, terutama di Timur Tengah;
5. Mixed System, di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem perundang-undangan, hukum adat dan hukum islam; (Avmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan)
Meskipun Sistem Hukum di atas bervariatif, namun pasti tidak akan dapat dipisahkan tentang tiga unsur/komponen dari Lawrence M.Friedman, yaitu :
1. Stuktur, yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya dan pengadilan beserta para hakimnya, serta lainnya termasuk dalam hal ini para advokad;
2. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan;
3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan/keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik para penegak hukum maupun warga masyarakatnya, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Kultur hukum ini paling esensial, karena yang menentukan kapan, mengapa, dan dimana orang-orang menggunakan hukum, atau proses hukum, dan kapan mereka menggunakan institusi lainnya, atau tidak melakukan apapun.
· Bagaimana Peradilan di Indonesia dijalankan menurut BAB IX UUD 1945
BAB KEKUASAAN KEHAKIMAN
PASAL 24
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
· Batas-Batas Kewenangan Masing-Masing Badan Peradilan
- Peradilan Umum, berwenang mengadili sengketa perkara pidana dan perdata. Yang dalam lingkungannya juga diberikan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara peradilan khusus, diantaranya : HAM, ANAK, PAJAK, PERIKANAN, TIPIKOR, NIAGA. Dasar pengaturannya ada di UU NO. 49 Tahun 2009 jo. UU NO. 8 Tahun 2004 jo. UU NO. 2 Tahun 2006 tentang Peradilan Umum.
- Peradilan Agama, sebagai peradilan khusus yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus di bidang perkawinan, perceraian, waris, hibah, wakaf dan sadaqoh bagi orang-orang yang beragama Islam. Dasar pengaturannya ada di UU NO. 50 Tahun 2009 jo. UU NO. 7 Tahun 1989.
- Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa antara warga negara dengan Pejabat Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Dasar pengaturannya ada di UU NO. 51 Tahun 2009 jo. UU NO. 5 Tahun 1986.
- Peradilan Militer, berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tentang kejahatan/pelanggaran yang dilakukan seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana berstatus prajurit atau yang menurut UU dipersamakan dengan prajurit yang terjadi di Lingkungan Militer. Dasar pengaturannya ada di UU NO. 31 Tahun 1997.
· Bagaimana Kewenangan Menyelesaikan Perkara Pidana/Perdata dalam Praktek pada Badan Peradilan Umum Dijalankan
- Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif.
- Dalam tataran praktek, kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan hakim dalam bentuk jaminan kebebasan dan kemandirian dalam melakukan pemeriksaan persidangan dan pengambilan keputusan yang secara vertikal hanya dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan secara horisontal dipertanggung jawabkan kepada masyarakat dan negara.
- Dalam diri hakim diemban amanah agar perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, apabila penerapan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice).
· Diferensiasi Acara Pidana dan Acara Perdata
PIDANA
(Hukum Acara) UU NO. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
- Melindungi kepentingan publik
- Jaksa berhadapan dengan terdakwa, tugasnya membuktikan unsur delik yang didakwakan pada terdakwa.
(Kepentingan yang dilindungi)
- Kepentingan umum dan kepentingan hukum
- Yang salah dihukum dan yang tidak bersalah tidak dihukum
(Inisiatif) Jaksa selaku Penuntut Umum
(Terus atau Keberlanjutannya) Sekali jaksa limpahkan perkara ke pengadilan. Perkara tidak bergantung lagi pada jaksa atau terdakwa.
(Keaktifan Hakim) Hakim aktif sekalipun PU tidak mengemukakan hal-hal tertentu
(Keyakinan) Keyakinan faktor essensial, terdakwa mengakui kalau hakim tidak yakin, pengakuan ditolak, “beyond reasonable doubt”, hakim harus tidak ragu dan yakin kesalahan terdakwa. psl. 183 KUHAP
(Kebenaran yang dicapai) kebenaran materiil, atau kebenaran yang sebenar-benarnya
(Ukuran sanksi) Tidak menggunakan pembuktian umum, mis. terdakwa sopan dan mengakui.
PERDATA
(Hukum Acara) Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 jo. UU Darurat no. 1 tahun 1951 tentang Herziene Indonesich Reglement (HIR) / Reglement Voor de Buitengewesten (RBg)
- Melindungi kepentingan umum/privat seseorang
- Mengatur bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa dan memutusnya dan pelaksanaan putusannya.
(Kepentingan yang dilindungi)
- Kepentingan perseorangan
- Membutuhkan kepastian hukum yang menuntut perlindungan hukum.
(Inisiatif) Pihak yang merasa dirugikan
(Terus atau Keberlanjutannya) Sekalipun perkara telah diperiksa, penggugat dapat minta perkara dihentikan. Karena kepentingan para pihak sendiri
(Keaktifan Hakim) Hakim pasif karena luasnya perkara yang disengketakan ditetapkan sendiri oleh para pihak
(Keyakinan) jika tergugat mengakui apa yang dituntut, hakim wajib menerima pengakuan tersebut. Pengakuan sebagai bukti sempurna. psl. 164 HIR
(Kebenaran yang dicapai) kebenaran formil, nyata melalui alat bukti yang sah. psl. 164 HIR
(Ukuran sanksi) Hukuman didasarkan pada pembuktian fakta melalui alat-alat bukti yang sah.
Meskipun sistem telah kuat dan adaptif namun kasus-kasus dalam masyarakat yang menyebutkan hukum disinyalir tajam kebawah tumpul keatas selalu saja terjadi.
1. Kasus pencurian sendal jepit yang melibatkan anak terbelakang mental bernama AAL, yang tetap dinyatakan bersalah meskipun barang bukti tidak sesuai. Salah satu pertimbangannya adalah karena aal mengakui perbuatannya. (percobaan)
2. Kasus nenek Minah di banyumas, mencuri 3 kakao milik satu perusahaan dan dihukum 1 bulan masa percobaan 3 bulan. Diproses hukum hanya demi mewujudkan kepastian hukum.
3. Kasus pencurian semangka Basar dan Kholi di kediri, dihukum 15 hari percobaan 1 bulan. Dihukum karena mengakui perbuatannya dan sebagai efek jera.
4. Kasus nenek Rasmina dituduh mencuri 6 piring milik majikannya. Oleh majelis PN tangerang diputus bebas. Jaksa kasasi, oleh MA terdakwa diputus bersalah dan dihukum 130 hari sesuai lamanya penahanan.
5. Kasus Prita Mulyasari, MA mengabulkan kasasi jaksa, dan menyatakan Prita besalah melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit OMNI Internasional melalui surat elektronik dan dihukum 6 bulan penjara.
· Reformasi Peradilan – Reformasi Paradigma
- Reformasi Peradilan, menurut Achmad Ali dalam bukunya “Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan” mengatakan tidak cukup hanya dengan sekedar Reformasi Perundang-Undangan. Melainkan yang terpenting adalah dilakukan Reformasi Paradigma.
- Konsep kuno yang menempatkan Hakim hanya sekedar “Terompet Undang-Undang” yang bersumber dari kalimat yang pernah dikatakan Montesquieu “The judge as la bouche de la looi, as the mouthpiece of the law”. Dan ditopang lagi dengan simbol “the blindfolded statue”, yaitu dewi keadilan yunani, memegang timbangan di tangan kiri dan mencekal pedang keadilan di tangan kanan, serta kedua matanya ditutup sehelai kain hitam. Sudah saatnya dihapus dan ditinggalkan, karena paradigma mata tertutup justru diartikan hakim akan terus sebagai terompet undang-undang dan tidak akan mampu menyaksikan dan menyerap rasa keadilan dalam masyarakat. Sudah saatnya matanya harus terbuka supaya mampu menyerap tuntutan dan aspirasi masyarakatnya.
Dengan dihapuskan paradigma Hakim sekedar terompet undang-undang. akan dapat dilahirkan putusan-putusan Hakim yang lebih Responsif, sebagai kebutuhan utama melakukan Reformasi Peradilan.
Dan sebenarnya Undang-Undang ;
No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman telah membukakan jalan untuk itu, yaitu :
- Pasal 5 ayat (1) berbunyi, bahwa : “Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
- Pasal 10 ayat (1) : Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
- Terlebih Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah perintah pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”
- Ketentuan di atas merupakan dasar dari adanya suatu peradilan yang mandiri, netral dan tidak memihak, untuk menyelenggarakan suatu peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
- Pertanyaannya bagaimana apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, kemanakah hakim wajib berpihak.
- Berpihak pada keadilan (moral justice) dan mengesampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal justice) ataukah bergeming tidak mau berbuat dan lebih berperan sebagai terompet undang-undang ?
- Berbicara tentang hakim dan putusan hakim tidak bisa dipisahkab membicarakan keadilan dan kepastian hukum karena keduanya merupakan unsur essensial dari hukum, termasuk putusan hakim.
- Gustav Radbruch bahkan menyatakan terdapat 3 nilai dasar dalam hukum yang harus aada pada hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan, namun ketiganya sulit terwujud secara bersamaan.
- Apabila dalam praktek terjadi pertentangan antar keadilan dengan kepastian hukum, nilai mana yang harus didahulukan?
- Keadilan adalah tujuan hukum yang paling utama, sementara kepastian hukum seharusnya merupakan sarana untuk mewujudkan keadilan.
Konsep KUHP Baru yang direncanakan berlaku di masa datang (ius constituendum) dicantumkan perlunya keseimbangan antara kepastian hukum sebagai patokan formal dengan nilai keadilan yang merupakan patokan materiil (Barda Nawawi Arif bukunya bunga rampai kebijakan Hukum Pidana). Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 16 yang berbunyi : dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
Dari pasal di atas diperoleh gambaran bahwa pada hakekatnya sebagian yuris kita menghendaki agar perlu terciptanya keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum akan tetapi jika ada konflik antara keduanya yang diprioritaskan adalah nilai keadilan.
Pada setiap putusan pengadilan selalu terdapat irah-irah :
“Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
INI SEMUA MENJADI YANG MEMBOLEHKAN HAKIM MEMBUAT PUTUSAN UNTUK MENEGAKAN KEADILAN, MESKI TERPAKSA HARUS MELANGGAR KETENTUAN FORMAL UNDANG-UNDANG YANG MENGHAMBAT TEGAKNYA KEADILAN
Postingan Populer
MENGEDARKAN PRODUK KOSMETIK YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PEKERJAAN BELUM SELESAI DAPAT DIKENAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMA-SAMA
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda