Langsung ke konten utama

Unggulan

BALIK NAMA TANAH BERSERTIFIKAT HAK ATAS TANAH OLEH PEMBELI HAK TAGIH (CESSIONARIS) BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN

ARTOSULAWESI.MY.ID - Pasal 613 KUHPerdata mengatur bahwa Cessie hanya instrument hukum untuk melakukan pengalihan utang saja, dari Debitur yang macet Wanprestasi atau atas kehendak sendiri untuk mengalihkan utangnya kepada pihak lain. Tetapi sesuai dengan perkembangan dan penerapan hukum ternyata Cessie juga dapat difungsikan untuk mengatasi kredit macet atau Debitur yang Wanprestasi yang utang Debitur tersebut dijamin dengan hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pembeli Hak Tagih (Cessionaris) agar hak-haknya terpenuhi dan dapat memberikan kepastian hukum yaitu dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan negeri (atau Penetapan ke Pengadilan Negeri) agar memutus atau menetapkan bahwa Pembeli Hak Tagih (Cessionaris) diizinkan untuk melakukan balik nama sertifikat hak atas tanah tersebut berdasarkan putusan pengadilan. *Hal tersebut sejalan dalam Putusan Pengadilan Tinggi 129/PDT/2016/PT.PBR Jo. No. 22/Pdt.G/2016/PN.Pbr sebagai berikut:* Seba...

PERBUATAN KORUPSI: DIREKTUR YANG MENANDATANGANI DOKUMEN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS)



ARTOSULAWESI.MY.ID - ADALAH PERBUATAN KORUPSI: DIREKTUR YANG MENANDATANGANI DOKUMEN YANG BERKAITAN DENGAN PENETAPAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS) YANG DIHASILKAN DARI PROSEDUR PELELANGAN PENGADAAN YANG TIDAK SESUAI, LALU PROSES TERSEBUT MENGUNTUNGKAN SEBUAH PERSEROAN TERBATAS.

Pada Oktober 2012, Alm. Ridwan Winata, pemilik PT Aditya Wiguna Kencana (PT AWK), bersama Direktur PT AWK, Rizkyvan Tobing (Terdakwa), mendaftarkan PT AWK dan tiga perusahaan milik Ridwan lainnya untuk mengikuti lelang/tender pengadaan alat kesehatan di RSUD Dr. Tengku Mansyur, Tanjungbalai. Meskipun terdapat sembilan perusahaan lainnya yang ikut menjadi peserta lelang, dalam lelang ini, hanya tiga perusahaan milik Ridwan yang mengajukan penawaran.  

Melalui pengaruh dan kendali Ridwan dan Terdakwa dalam proses lelang, proses tender tidak dilakukan sesuai prosedur, termasuk survei harga dan penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dilakukan tanpa verifikasi dengan tidak menghitung pajak dan biaya overhead, menghasilkan HPS sebesar Rp4,93 miliar. PT AWK kemudian memenangkan tender tanpa evaluasi memadai, dan dokumen-dokumen terkait pelelangan juga ditandatangani oleh Terdakwa, meskipun seharusnya perusahaan tersebut tidak berhak menjalankan proyek dan Terdakwa juga sebetulnya mengetahui bahwa proses pelelangan tersebut cacat secara prosedural. Proyek tersebut juga tetap dikerjakan oleh PT AWK meskipun kontrak kerja hanya ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen, dan tidak ditandatangani oleh Terdakwa selaku Direktur PT AWK.

Kemudian Pengadilan Tipikor pada PN Medan memutuskan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama” sesuai dengan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda sejumlah Rp100 juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp1 juta rupiah. Di tingkat banding, Terdakwa masih dijatuhi dengan hukuman pidana yang sama, tetapi jumlah pembayaran uang pengganti ditingkatkan menjadi Rp1,39 miliar dengan ketentuan jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan hukuman penjara selama 6 (enam) bulan.

Dalam kasasi, Mahkamah Agung berpendapat perbuatan Terdakwa yang menandatangani seluruh dokumen berkaitan dengan penetapan HPS, kontrak pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa Pemerintah, maupun permintaan pencairan dana, telah menyebabkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp1,39 miliar. Perbuatan itu adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum Terdakwa sendiri yang seharusnya tidak dilakukan atau patut diketahuinya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut secara menyimpang dan telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Agungpun  menjatuhkan pidana yang lebih berat, yakni pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan menghukum Terdakwa membayar Uang Pengganti sebesar Rp1,39 miliar dengan ketentuan jika uang pengganti tidak dibayarkan, maka harta benda Terdakwa dapat disita dan dilelang untuk membayar uang pengganti. Jika harta bendanya tidak cukup untuk melunasi pembayaran uang pengganti, maka Terdakwa akan dapat tambahan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

-> Putusan Mahkamah Agung Nomor 2413 K/Pid.Sus/2016, tanggal 30 Januari 2017. Sumber: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/9f3fb19bb9d01b01b09630fbae30b370.html.

 

 

 

 

 

Salam Pancasila,
Writer: Fredrik J. Pinakunary

Komentar

Postingan Populer