MEME CIUMAN PRESIDEN: UJIAN KEDEWASAAN DEMOKRASI DAN HUKUM
ARTOSULAWESI.MY.ID - SEORANG mahasiswi ITB berinisial SSS ditangkap dan langsung ditahan oleh polisi karena membuat dan menyebarkan poster rekayasa digital, yang menggambarkan Presiden Prabowo berciuman dengan Joko Widodo.
Padahal itu cuma satir, kritik dengan sarana gambar digital, yang bahkan dari segi estetika terhitung buruk, konyol, bisa dibilang norak.
Dalam masyarakat yang sehat secara intelektual, satir bukan isyarat bahaya, melainkan tanda hidupnya nalar publik. Dalam negara yang percaya-diri terhadap demokrasinya, olok-olok terhadap penguasa bukan hanya diperbolehkan, justeru perlu dirayakan.
Tapi di negeri ini, sebuah meme ciuman dua tokoh politik dianggap kejahatan yang harus ditindak — mencerminkan sikap tak percaya-diri pada bunga demokrasi yang telah kita sepakati sebagai bangsa untuk sama-sama kita mekarkan.
Meme karya SSS itu jelas hanya sindiran politik, tapi polisi bereaksi seolah-olah itu aksi subversi. Dengan sigap polisi memetik pasal “melanggar kesusilaan” dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)—pasal karet yang terlalu sering digunakan untuk menghukum ekspresi publik yang tidak menyenangkan penguasa.
Pertanyaannya sederhana: kesusilaan macam apa yang kita jadikan pegangan hidup bersama, yang sedemikian rapuhnya sehingga bisa hancur hanya oleh gambar digital? Dan mengapa negara lebih cepat bereaksi terhadap meme daripada terhadap kekerasan aparat, korupsi pejabat, atau pelanggaran HAM?
***
Kasus ini mengingatkan kita pada salah satu momen terpenting dalam sejarah kebebasan berekspresi (di Amerika Serikat): Hustler Magazine v. Falwell (1988). Kisahnya hampir sama absurdnya. (Difilmkan menjadi “The People vs Larry Flynt” oleh Sutradara Milos Forman, dengan bintang utama Woody Harrelson).
Hustler adalah majalah porno yang lebih vulgar daripada Playboy, bahkan Penthouse. Pemiliknya Larry Flynt, seorang tokoh cabul, kasar dan tak kenal takut, meski pernah ditembak oleh seorang pembenci dan membuatnya lumpuh seumur hidup.
Pada 1983 ia menerbitkan parodi iklan bertajuk “First Time” yang menyerang pendeta konservatif Jerry Falwell, yang mengklaim punya pengikut puluhan juta warga Amerika.
Parodi itu adalah pelesetan atas iklan minuman keras Campari, yang saat itu terkenal dengan gaya wawancara sensual bertema “pengalaman pertama”. Hustler meniru gaya itu, tetapi memuat wawancara fiktif yang di dalamnya Falwell “mengaku” pertama kali berhubungan seks adalah dengan ibunya sendiri di toilet umum.
Disebut bahwa Falwell waktu itu berumur 7 tahun, dan dalam keadaan mabuk. Vulgar, jorok dan tak masuk akal (misalnya: anak tujuh tahun sudah mabuk-mabukan). Tapi itulah satir — dan yang terpenting: di bawahnya tertera jelas “Ad parody – not to be taken seriously” (cuma parodi iklan, tidak perlu dianggap serius).
Falwell marah besar dan menggugat. Tapi Flynt tidak mau minta maaf. Tim Falwell membawa kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Dan di sinilah muncul kecemerlangan tim hukum Flynt. Mereka tidak memainkan drama moralitas, melainkan logika publik.
***
Dalam persidangan, pengacara Flynt memanggil para saksi dari kalangan jemaat dan simpatisan Falwell. Artinya: mereka memanggil saksi-saksi yang niscaya bakal memberatkan Flynt sebagai klien mereka sendiri.
Pertanyaan tim lawyer Flynt satu saja: “Apakah Anda percaya isi parodi itu nyata?” Jawaban mereka sama: tidak. Sama sekali tidak percaya. Mereka tahu itu lelucon. Mereka bilang Pendeta Falwell adalah panutan mereka, dan mustahil berbuat seperti yang dinyatakan oleh majalah Hustler.
Dengan jawaban itu, menjadi jelas: tim pengacara Flynt berhasil membuktikan dengan meyakinkan bahwa iklan ledekan Flyint itu cuma gurauan. Tidak ada orang yang menganggapnya sebagai fakta.
Dan jika bahkan pengikut Falwell yang paling setia pun tidak menganggapnya sungguhan, maka tidak terjadi pencemaran nama baik yang bisa dibuktikan. Tak ada kerugian. Tiada kesalahan fakta.
Maka klaim Falwell bahwa lantaran iklan itu ia mengalami “tekanan mental” dan “kerusakan reputasi”, tidak bisa dipercaya, karena itu harus diabaikan.
Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya memutuskan bulat 8–0 (satu hakim abstain): parodi tersebut dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi.
Hakim William Rehnquist menulis bahwa “public figures must tolerate vehement, caustic, and sometimes unpleasantly sharp attacks.” Tokoh publik harus toleran terhadap serangan tajam yang gencar, pahit dan terkadang menjengkelkan.
Tokoh publik, katanya, tidak berhak atas perlindungan dari satir, karena itulah harga yang harus dibayar dalam masyarakat terbuka. Dan itulah risiko wajar dari status figur publik — terhadap mereka harus dikenakan standar yang lebih ketat daripada terhadap warga biasa.
***
Indonesia belum sampai ke titik kedewasaan demokrasi dan hukum seperti itu. Kita masih hidup dalam mentalitas feodal yang menganggap pemimpin sebagai sosok sakral yang tak boleh disentuh, apalagi ditertawakan. Kita punya UU ITE—sebuah produk hukum serbaguna yang bisa digunakan untuk menindak apa pun yang tak disukai penguasa.
Meme ciuman itu mungkin konyol. Tapi ia bukan kriminal. Ia adalah komentar sosial. Ia adalah bentuk kebebasan ekspresi—yang bahkan kalaupun kasar, tetap sah secara etis dan seharusnya juga legal.
Dalam demokrasi, kebebasan bukan hanya soal berkata benar, tapi juga tentang hak untuk berkata lucu, sinis, bahkan menjengkelkan.
Jika negara merasa harga dirinya hancur oleh sebuah meme, maka masalahnya bukan pada si pembuat meme, melainkan pada negara yang terlalu rapuh untuk ditertawai.
Negara yang kuat tidak mudah tersinggung oleh tingkah warganya. Negara yang sehat tidak takut pada tawa. Dan negara yang terlalu sensitif terhadap penghinaan, biasanya sedang dalam perjalanan menuju otoriter.
Tawa adalah ujian bagi demokrasi. Bila penguasa tak tahan terhadap canda, maka ia tidak layak memimpin dalam sistem yang menjunjung kebebasan.***
Writer : Hamid Basyaib
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda