Bukan Malpraktek: Tindakan Medis (Komplikasi dan Resiko Medis) Yang Telah Disetujui Oleh Pasien dan Keluarganya

 
 
 


ARTOSULAWESI.MY.ID - Farouq Salim (Penggugat I) dan ayahnya, Salim Atubel (Penggugat II) menggugat Rumah Sakit RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua (Tergugat I) dan dr. Suroso, SpB (Tergugat II), dokter yang menangani Penggugat I. Sebelumnya, Penggugat I mengalami luka bakar kulit sampai daging pada wajah, leher, dada, dan anggota tubuh lainnya. Penggugat I dinyatakan mengalami luka bakar derajat ke-3, sehingga harus diisolasi dari pasien lain untuk menghindari kontaminasi. 

Kemudian, Tergugat II selaku dokter menginformasikan kepada para Penggugat bahwa operasi debridement (pembuangan jaringan mati) harus dilakukan untuk mengobati luka yang dialami Penggugat I, namun tetap akan mengalami pincang dan kecacatan. Informasi juga disampaikan kepada Penggugat II dan Penggugat II selaku anggota keluarga tetap menyetujui. Operasi pun dilakukan, namun setelah itu, Penggugat II meminta paksa agar Penggugat I dibawa pulang ke rumah, padahal Penggugat I masih harus tetap dirawat lebih lanjut. Ternyata setelah pulang ke rumah, Penggugat I mengalami pembusukan pada kulit dan jari-jari tangan kanan hingga rontok satu per satu. 

Para Penggugat lalu menuntut agar Para Tergugat dinyatakan melakukan malpraktek dan meminta ganti rugi materil dan imateril sebesar Rp10 miliar. Namun, PN Atambua memutuskan untuk menolak gugatan para Penggugat untuk seluruhnya, karena terbukti bahwa Penggugat I dibawa pulang paksa oleh Penggugat II dari rumah sakit untuk dirawat sendiri tanpa melalui petunjuk dari dokter yang berwenang merawatnya. Perbuatan Penggugat II dari segi keilmuan kedokteran tidak dibenarkan namun apabila dilakukan sendiri itu menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, Penggugat II juga telah menyetujui untuk melakukan tindakan operasi termasuk resiko dan komplikasi yang timbul akibat tindakan tersebut dan bersedia tidak menuntut pihak rumah sakit ataupun dokter. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh PT Kupang dan para Penggugat mengajukan permohonan kasasi ke MA. 

MA menolak permohonan kasasi tersebut dan memutuskan bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena para Tergugat tidak terbukti melakukan malpraktek terhadap Penggugat. Para Penggugat kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK), namun MA tetap menolak permohonan PK karena tidak terdapat kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris. Selain itu, para Tergugat telah melakukan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi dan telah memberikan pelayanan sesuai dengan standar dan prosedur yang ada sehingga bukan merupakan tindakan malpraktek kecuali Dewan Kehormatan Etik memutuskan lain. -> Putusan Mahkamah Agung Nomor 604 PK/Pdt/2018, tanggal 18 September 2018. Sumber: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/aa226b5d8a97d8c175de9083d36e8a0a.html. #SalamPancasila, (Fredrik J. Pinakunary).

Komentar

ALL TIME