RUU KUHAP: Saatnya Disahkan, Meski Tak Sempurna Semua

 
 
 
 



ARTOSULAWESI.MY.ID - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di DPR kembali memantik pro dan kontra. Sejumlah pihak menilai draf yang ada masih menyisakan banyak celah, mulai dari pengaturan hak tersangka, peran penegak hukum, hingga mekanisme restorative justice. Sebaliknya, ada yang berpandangan bahwa menunda lagi pengesahan justru memperpanjang ketimpangan praktik hukum pidana yang sudah lama tak tersentuh pembaruan.

Perlu diakui, tidak ada produk legislasi yang sempurna. KUHAP lama yang lahir pada 1981 pun merupakan kompromi politik dan sosial pada zamannya. Kini, setelah puluhan tahun, pembaruan ini bukan hanya keinginan, tetapi kebutuhan. Memang, revisi yang ada belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil. Namun, harus dipahami, legislasi adalah proses penyeimbangan kepentingan, bukan arena idealisme mutlak.

RUU KUHAP telah melalui serangkaian diskusi, harmonisasi, bahkan tarik-menarik kepentingan. DPR bersama pemerintah telah mengupayakan perbaikan di berbagai titik krusial—terutama pada hak korban, penguatan mekanisme pengawasan penegak hukum, dan opsi penyelesaian perkara di luar pengadilan. Menunda pengesahan dengan alasan mengejar “kesempurnaan” justru berisiko mengembalikan pembaruan ini ke titik nol.

Karenanya, pilihan paling realistis adalah mendukung pengesahan RUU KUHAP saat ini, seraya membuka ruang evaluasi melalui judicial review dan revisi parsial di masa depan. Pembaruan hukum acara pidana adalah perjalanan panjang, bukan garis akhir. Yang terpenting, kita memulai langkah maju sekarang, bukan terus menunggu idealisme yang mungkin tak akan pernah tiba.

Saatnya DPR mengesahkan RUU KUHAP sebagai upaya maksimal yang telah dilakukan. Meski tidak sempurna, ia jauh lebih baik daripada membiarkan hukum acara pidana kita tetap tertinggal zaman. Direktur IKABH- LBH DPP IKADIN (Dr. Hermawanto, S.H., M.H).

Komentar

ALL TIME