Surat Terakhir untuk Kedaulatan: Ketika Kurir Menjadi Detektif Swasta

 
 




ARTOSULAWESI.MY.ID - Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang rajin berbelanja online. Setiap hari, kurir datang mengantar paket—mulai dari baju anak, vitamin, hingga bumbu dapur dari marketplace favorit. Ramah, sopan, selalu tersenyum. Yang tidak Anda sadari: setiap kali dia mencatat alamat, menerima tanda tangan, atau memindai barcode paket, dia tidak hanya mengantar barang. Dia sedang membangun profil digital Anda—seperti petugas sensus yang tak pernah Anda sadari keberadaannya.

Kini bayangkan lagi: kurir itu bekerja untuk perusahaan yang dimiliki investor asing. Data Anda—nama lengkap, alamat, nomor telepon, pola belanja, bahkan jam-jam aktif di rumah—mengalir ke server di negara yang mungkin suatu hari menjadi rival geopolitik Indonesia. Seperti mengirim surat cinta kepada mantan yang ternyata sekarang jadi musuh bebuyutan.

Ironis, bukan? Di era ketika kita paranoid dengan aplikasi yang meminta akses kamera atau mikrofon, kita dengan santai menyerahkan data terdalam kehidupan kita kepada kurir yang tidak kita curigai sedikitpun. Padahal, industri pos modern telah berevolusi menjadi semacam "Big Brother" berseragam yang berkeliling kampung.

Dari kurir Jadi Detektif Swasta

Transformasi industri pos di Indonesia ibarat metamorfosis kupu-kupu—yang tadinya merpati pengangkut surat, kini menjadi sayap digital yang membawa data. Industri yang dulunya cuma mengandalkan sepeda ontel dan tas kulit tua, sekarang menguasai teknologi tracking real-time, payment gateway, dan big data analytics yang canggihnya minta ampun.

Para kurir modern ini tidak lagi sekadar mengantar barang. Mereka adalah data collector berskala massal yang tanpa sadar kita beri akses VIP ke dalam kehidupan pribadi. Setiap paket yang mereka antar adalah puzzle kecil yang membentuk gambaran utuh tentang siapa kita, apa yang kita beli, kapan kita aktif, dengan siapa kita berhubungan.

Jika dulu mata-mata harus menyusup ke dalam rumah untuk mencuri dokumen rahasia, sekarang cukup jadi kurir. Data yang terkumpul jauh lebih detail dan komprehensif daripada yang bisa dikumpulkan intelijen konvensional. Nama, alamat, nomor telepon, NIK, riwayat transaksi, pola konsumsi, jaringan sosial—semuanya terekam rapi seperti catatan harian yang ditulis sendiri oleh korban.

Bayangkan jika Shakespeare hidup di zaman sekarang dan menulis ulang Hamlet: "To track or not to track, that is the question." Pertanyaannya bukan lagi apakah kita diawasi, tapi siapa yang mengawasi dan untuk kepentingan siapa.

Excavator Digital di Halaman Belakang

Ketika perusahaan pos dikuasai investor asing, yang terjadi bukan sekadar perpindahan kepemilikan biasa. Ini seperti mengizinkan tetangga memasang excavator di halaman belakang rumah kita dengan dalih ingin membantu berkebun. Yang digali bukan tanah, tapi data—dan yang ditambang bukan emas, tapi informasi strategis yang bisa digunakan untuk mengontrol kita suatu hari nanti.

Seperti pepatah Jawa mengatakan, "ajining diri saka lathi" —harga diri seseorang terletak pada ucapannya. Dalam konteks kedaulatan digital, “ajining bangsa saka data” —harga diri bangsa terletak pada kontrol atas datanya sendiri. Ketika data kita mengalir bebas ke luar negeri tanpa oversight, kita sedang menggadaikan harga diri sebagai bangsa.

Negara-negara maju sudah paham betul ancaman ini. Amerika Serikat menjaga ketat USPS sebagai infrastruktur kritikal yang tidak boleh dikuasai asing. Tiongkok mengintegrasikan platform logistik dengan sistem monitoring pemerintah. Uni Eropa membuat GDPR yang ketat untuk melindungi kedaulatan data warganya.

Sementara kita? Kita masih sibuk memperdebatkan apakah Gojek boleh dijual ke luar negeri, padahal data yang dikumpulkan industri pos jauh lebih sensitif dan strategis. Ini seperti mengamankan pintu depan rumah dengan gembok berlapis, tapi membiarkan pintu belakang terbuka lebar-lebar.

Skenario Mimpi Buruk yang Mungkin Jadi Nyata

Mari kita bereksperimen dengan skenario hipotetis yang tidak terlalu berlebihan. Suatu hari, hubungan diplomatis Indonesia dengan negara X memanas karena sengketa wilayah. Tiba-tiba, sistem logistik pos yang dikuasai investor dari negara X mengalami "gangguan teknis" yang aneh. Pengiriman obat-obatan ke daerah terpencil terhambat. Paket-paket berisi spare part mesin industri "hilang" dalam perjalanan. Dokumen penting pemerintahan mengalami keterlambatan misterius.

Atau skenario yang lebih halus: jelang pemilu, tiba-tiba muncul iklan politik yang sangat targeted di media sosial. Iklan-iklan itu tahu persis bahwa Anda sering memesan buku agama, suplemen kesehatan, atau mainan anak. Mereka tahu Anda tinggal di kompleks elite atau kampung sederhana. Mereka bahkan tahu jam berapa Anda biasanya di rumah untuk menerima paket. Micro-targeting yang sempurna untuk manipulasi opini.

Seperti dalang wayang yang tahu persis tombol mana yang harus ditekan untuk membuat penonton tertawa atau menangis, pemilik data pos memiliki kemampuan untuk "memainkan" emosi dan perilaku masyarakat dengan presisi yang menakutkan.

Perlawanan: Dari Si Kabayan yang Polos Jadi Strategis

Untungnya, Indonesia punya contoh inspiratif untuk melawan. Seperti cerita Si Kabayan yang terlihat polos tapi ternyata cerdik, kita perlu mengubah pendekatan dari yang defensif-reaktif menjadi strategis-proaktif.

Pertama, kita perlu "domestikasi" total kepemilikan sektor pos strategis. Mengapa harus setengah-setengah seperti orang yang mau diet tapi masih nyemil? Infrastruktur data kritikal ini harus 100% dikuasai domestik dengan maximum 49% dimiliki oleh publik melalui mekanisme bursa saham di Indonesia yang transparan—titik. Bukan karena _foreign phobia_, tapi karena akal sehat. Kita tidak akan menyerahkan kunci brankas bank kepada tetangga yang punya sejarah "meminjam" tanpa izin, bukan?

Kedua, implementasi data localization yang ketat tapi pragmatis. Semua data sensitif warga Indonesia harus disimpan di *server dalam negeri* dengan oversight penuh. Transfer data ke luar negeri hanya boleh dilakukan dengan izin _explicit_ dan untuk tujuan spesifik. Ini bukan teknofobia, tapi common sense untuk kedaulatan digital.

Ketiga, penguatan Pos Indonesia sebagai champion domestik. Bukan dengan proteksi artificial, tapi dengan modernisasi genuine. Integrasikan teknologi terdepan, ekspansi jaringan, partnership strategis dengan ekosistem digital domestik. Buat Pos Indonesia tidak hanya survive, tapi thrive dalam kompetisi global.

Epilog: Surat Cinta untuk Masa Depan

Penutup untuk renungan ini bukanlah narasi pesimistis tentang ancaman yang tak terelakkan, melainkan ajakan untuk bertindak dengan kesadaran penuh. Kita hidup di era dimana data adalah kekuatan, dan kekuatan itu bisa digunakan untuk membangun atau menghancurkan.

Industri pos yang kita anggap sederhana ternyata menyimpan kekuatan yang luar biasa. Seperti energi nuklir yang bisa digunakan untuk menerangi kota atau menghancurkan peradaban, teknologi logistik digital bisa menjadi tulang punggung kedaulatan nasional atau menjadi alat untuk menggerogoti kedaulatan itu sendiri.

Keputusan ada di tangan kita sekarang. Apakah kita akan terus membiarkan data strategis bangsa ini mengalir bebas seperti air sungai yang tidak terkendali, atau kita akan membangun bendungan yang cerdas untuk mengalirkannya demi kepentingan bangsa sendiri?

Seperti lirik lagu Ebiet G. Ade, "Berita kepada kawan, semua sudah berubah." Yang belum berubah adalah kesempatan kita untuk mengambil kendali sebelum terlambat. Pertanyaannya: sanggupkah kita menulis surat terakhir untuk kedaulatan ini dengan tinta yang tidak mudah pudar?

Atau kita akan terus menjadi bangsa yang ahli menulis surat protes, tapi lupa mengamankan kotak posnya sendiri?. Penulis adalah Direktur Utama PT. Pos Indonesia (Persero) 2015-2020 (gws). (Deddy)

Komentar

ALL TIME