Belajar Penanganan Keracunan Siswa dari Republik China
![]() |
| Belajar Penanganan Keracunan Siswa dari China |
ARTOSULAWESI.MY.ID -- Di China, setiap kasus keracunan makanan di sekolah tidak pernah dianggap remeh. Puluhan hingga ratusan anak yang jatuh sakit akibat kelalaian pengawasan menjadi sorotan nasional. Tidak hanya sekolah yang disanksi, kepala sekolah hingga koki bisa dijerat hukum pidana berat. Bahkan ada kasus ekstrem: petugas yang bertanggung jawab atas keracunan makanan dijatuhi hukuman mati. Pesannya jelas—urusan keselamatan anak bukan sekadar angka statistik, melainkan tanggung jawab hukum dan moral negara.
Pemerintah China menempatkan keamanan pangan di sekolah dalam kerangka regulasi yang ketat. Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman khusus yang menegaskan bahwa distribusi makanan tidak standar kepada siswa adalah pelanggaran serius. Pengawasan dilakukan lintas lembaga: dari sekolah, rumah sakit, hingga unit pengendalian penyakit. Jika terjadi kegagalan, konsekuensinya bukan sekadar permintaan maaf di podium, melainkan jerat pidana yang nyata. Ancaman mati!
Bandingkan dengan Indonesia. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dicanangkan dengan gegap gempita, dibungkus narasi populis sebagai jalan keluar dari stunting dan kemiskinan gizi. Namun pengawasan justru lemah sejak awal. Kasus dugaan dapur fiktif, keterlambatan distribusi, hingga kabar keracunan dianggap “insiden kecil” yang segera dikalkulasi dengan matematika persentase: dari jutaan penerima, hanya ratusan yang terdampak. Dengan logika ini, nyawa anak-anak direduksi menjadi persentase statistik keberhasilan program.
Perbedaan paling mencolok terletak pada seriusnya penegakan hukum. Di China, kegagalan distribusi makanan sehat bagi siswa dianggap ancaman terhadap keamanan publik. Di Indonesia, kegagalan yang sama kerap dibungkus dengan narasi politik dan pencitraan, seolah keselamatan anak bisa ditawar dengan angka keberhasilan di atas kertas.
Padahal, makan siang di sekolah bukan soal proyek, bukan pula sekadar prestasi politik. Ia menyangkut masa depan generasi. Bila negara lalai mengawasi kualitas makanan, dampaknya lebih luas dari sekadar sakit perut: hilangnya kepercayaan publik, runtuhnya kredibilitas program, dan yang lebih berat, pengkhianatan terhadap hak anak untuk tumbuh sehat.
Indonesia harus belajar: keselamatan tak bisa dinegosiasikan. Jika China bisa menempatkan pengawasan pangan sekolah sebagai prioritas nasional dengan konsekuensi hukum yang tegas, mengapa kita justru sibuk menakar keberhasilan dengan kalkulator politik?. Erizeli Jely Bandaro (Babo). (HK)





Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda