Isu Keaslian Ijazah Mengganggu Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Kita
![]() |
| Isu Keaslian Ijazah Mengganggu Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Kita |
ARTOSULAWESI.MY.ID || Narasi - Lebih daripada keaslian ijazah sekolah, bagi saya, kualitas hati dan otak seorang pemimpin adalah yang utama. Tapi bagaimanapun juga, secara formal kita masih perlu melihat ijazah sebagai salah satu bukti seseorang pernah bersekolah.
Masalahnya, isu keaslian ijazah keluarga Solo sudah pada taraf mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Akibatnya, fokus terpecah—dari yang seharusnya kita meributkan mutu kebijakan pemerintah sekarang (MBG, koperasi Merah Putih, dsb.)—jadi malah berkelahi tentang kertas ijazah keluarga Solo.
Meminjam bahasa seorang teman saya yang pro-08, isu keluarga Solo makin jadi beban Prabowo!
Persoalan Gibran ada dua, menurut saya: 1) Orang meragukan kualitas dia; 2) Orang muak mengingat kasus paman MK—ketika lembaga pengadil konstitusi yang saat itu dipimpin paman Gibran mengubah syarat usia pencalonan wapres dalam pemilu sehingga membuat Gibran bisa lolos.
Kualitas punya pengertian luas. Seorang pemimpin bisa diukur dari isi kepalanya yang tercermin lewat bicara, tulisan, dan karya lainnya. Masalahnya, apa karya intelektual dia? Bisa juga diukur dari pengalaman dia yang katanya pebisnis. Masalahnya, bisnis apa yang dia besarkan? Apa kabar Markobar, Goola, dst. itu? Di luar fakta kebetulan dia anak Mulyono dengan segala privilegenya, apa prestasi atau pencapaian yang menunjukkan dia sosok pemimpin muda berkualitas?
Saya tidak mau masuk ke persoalan ijazah SMA Gibran di Singapura karena perkaranya tengah bergulir di pengadilan perdata PN Jakpus. Kita lihat saja nanti putusannya apa. Saya justru tertarik mencermati kehidupan akademik dia di SMPN 1 Surakarta. Jangan-jangan kualitas orang ini bisa kita lihat dari situ.
Saya ada rumah keluarga di Mangkubumen, belakang SMPN 1 Surakarta. Istri saya lulusan SMPN 1 Surakarta (masuk 1995), SD-nya di SD Kristen Manahan, masih di sekitar situ juga. SMPN 1 Surakarta memang SMP favorit saat itu—sekolahnya anak pintar atau anaknya orang kaya, begitulah kira-kira anggapan orang. Kalau swastanya, ada SMP Bintang Laut. NEM (Nilai Ebtanas Murni) SD istri saya ketika mendaftar masuk SMP adalah 42,90, dan itu masuk batas bawah sekali alias mepet.
Gibran kabarnya masuk SMP itu tahun 1999 dari SD Mangkubumen Kidul 16. Tempo (28 November 2023) pernah mengulik cerita Gibran ketika SMP dan hanya menemukan fakta seorang guru Bahasa Inggris bernama Koesnaedi Prabowo yang berkata tidak terlalu mengenal secara pribadi karena tidak mengajar di kelas Gibran. Ada juga saya lihat di Channel YouTube Berita Surakarta yang memotret suasana pada 2021 ketika Gibran bersepeda mengunjungi SMPN 1 Surakarta dan bertemu para guru, salah satunya Handayani, guru Bahasa Indonesia.
Agaknya benar bahwa Gibran pernah sekolah di SMPN 1 Surakarta. Tapi masalahnya lewat jalur apa (jalur “khusus”?) dan bagaimana prestasi akademiknya? Berapa NEM SD-nya ketika mendaftar masuk? Jika prestasi akademiknya bagus, kenapa tidak melanjutkan ke SMA favorit di Solo berikutnya seperti SMAN 3, SMAN 1, SMAN 4, atau SMA swasta seperti Regina Pacis? Jangan-jangan prestasi akademiknya jongkok? Mengapa harus menghabiskan waktu selama 5 tahun di luar negeri—2 tahun di Singapura dan 3 tahun di Sydney—untuk bersekolah setara SMA? Apakah kita bisa percaya begitu saja alasan bapaknya bahwa itu semata karena ingin anaknya mandiri?
Semua itu hanyalah kumpulan tanda tanya yang membumbung di kepala saya. Alasannya sederhana: Gibran tidak bisa disamakan dengan rakyat pada umumnya, karena ia adalah pejabat publik yang hidup dari biaya negara—yang bersumber dari pajak rakyat. Wajar bila rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menuntut hadirnya sosok pemimpin yang benar-benar berkualitas, bukan yang ingah-ingih atau duduk di posisi publik dengan cara yang dicurigai curang
Ke depan, Gibran akan semakin membebani pemerintahan Prabowo. Sebab, kalaupun berhasil dibuktikan (terserah dengan cara apa pun juga) bahwa ia punya kertas asli yang menunjukkan ia pernah bersekolah di suatu institusi, itu bukan berarti membuktikan bahwa ia memiliki otak dan hati yang bermutu untuk menjadi orang nomor dua di negara ini.
Kerugian besar bagi bangsa ini karena kelak mengulang sejarah gorong-gorong pada Pemilu 2029: gimmick politik, pahlawan kesiangan, blusukan bagi-bagi permen, buzzer nasi bungkus. Menyasar pemilih muda yang dibikin tidak tahu banyak tentang kenyataan dan sejarah menjijikkan di balik pemerintahan sebelumnya. Salam,
AEK. (Deddy)





Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda