Kenapa Orang Paling Pintar Justru Jarang Jadi Pemimpin
![]() |
| Kenapa Orang Paling Pintar Justru Jarang Jadi Pemimpin |
ARTOSULAWESI.MY.ID - Plato, dalam Republik, menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang paling mencintai kebenaran, bukan mereka yang paling ambisius atau paling populer. Ia menyebut kelas ini sebagai filsuf-ratu: orang-orang yang berjiwa bijak, yang mengutamakan akal dan keadilan. Ironinya, orang seperti ini jarang menempati posisi puncak kekuasaan. Mengapa? Karena kekuasaan sering diserahkan bukan pada kebijaksanaan, tetapi pada dorongan lain: nafsu, ambisi, atau popularitas.
Plato membedakan antara mereka yang pandai dan mereka yang mau memimpin. Banyak orang pandai lebih suka meneliti, merenung, atau mencari kebenaran daripada mengurus urusan publik yang ribet. Kekuasaan bagi mereka bukan tujuan, melainkan tanggung jawab yang berat. Mereka paham risiko: jabatan tinggi bisa menodai jiwa, mengaburkan akal, dan memaksa kompromi yang merugikan prinsip.
Sementara itu, orang yang haus pengakuan, kaya, atau berani memaksakan kehendak, justru lebih sering berada di kursi kekuasaan. Mereka menggunakan kepintaran bukan untuk menimbang keadilan, tapi untuk mempertahankan posisi, menyingkirkan pesaing, atau mengejar keuntungan pribadi. Plato menegaskan: inilah sebabnya negara sering dikuasai oleh yang tidak bijak, sementara yang bijak justru menjauh.
Kepintaran tanpa keinginan untuk memimpin, bagi Plato, adalah berkah bagi pemimpin sejati. Sebab mereka tidak termotivasi oleh kekuasaan, melainkan oleh kebenaran. Mereka lebih suka menata negara dari perspektif akal, bukan ambisi atau keserakahan. Sementara mereka yang haus jabatan sering kali tidak punya visi jangka panjang, dan lebih mudah terjebak dalam nafsu sesaat.
Plato juga mengingatkan bahwa orang bijak sering mengalami dilema moral: ia melihat segala konsekuensi dari setiap keputusan. Banyak orang akan merasa tertekan menghadapi tanggung jawab yang begitu besar. Maka ia cenderung mundur atau memilih posisi yang lebih aman. Orang bijak tahu, menjadi pemimpin tanpa pengakuan dari masyarakat bukan hanya sulit, tapi bisa merusak integritasnya sendiri.
Di sisi lain, masyarakat jarang mengenali kebijaksanaan. Kita cenderung mengukur kepemimpinan dengan popularitas, wibawa, atau kekuatan retorika. Sedikit yang menghargai kesabaran, ketelitian, dan keberanian untuk memegang prinsip di tengah tekanan. Maka orang pintar yang benar-benar layak memimpin sering tersingkirkan sebelum kesempatan datang.
Fenomena ini juga berlaku di kehidupan sehari-hari: di kantor, organisasi, bahkan kelompok sosial. Mereka yang paling cerdas, jernih, dan bijaksana jarang muncul sebagai “bos.” Sebaliknya, yang agresif, percaya diri berlebihan, atau pandai berpolitik lebih mudah menembus posisi pimpinan. Plato menyebutnya ironi universal: kecerdasan tidak selalu identik dengan kuasa.
Pesan Plato tidak hanya kritik sosial. Ia adalah panggilan refleksi: apakah kita sudah menempatkan orang yang benar-benar bijak pada posisi yang pantas? Apakah kita mengukur pemimpin dengan nilai-nilai yang salah? Dan lebih penting lagi, apakah mereka yang bijak bersedia melangkah untuk memimpin, atau mundur demi menjaga integritas jiwa?
Maka, kesimpulannya: orang paling pintar jarang menjadi pemimpin bukan karena kurang kemampuan, melainkan karena motivasi dan risiko. Kekuasaan tidak selalu menarik bagi jiwa yang bijak, dan masyarakat sering memilih yang salah. Plato mengingatkan kita: negara dan masyarakat yang sehat harus menemukan cara agar kebijaksanaan benar-benar memimpin bukan sekadar kekuatan, ambisi, atau kepopuleran. Benuasabda, (Andi)





Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda