Masalah Utama Palestina, Amerika Serikat USA

Masalah Utama Palestina, Amerika Serikat
Masalah Utama Palestina, Amerika Serikat 



 

ARTOSULAWESI.MY.ID -- Seandainya saat ini, Donald Trump bilang, Palestina Merdeka, selesai semua. No war, peace yes. Masalahnya, si Paman rambut jagung ini masih memveto. De facto Palestina merdeka. De jure, Palestina belum merdeka. Sambil menunggu pembukaan Lokakarya Pemilihan 200 Desa Sasaran Proyek Mitigasi dan Adaptasi di Hotel Harris Pontianak, simak narasi soal status Palestina. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!

Palestina sejatinya sudah merdeka. Secara de facto, dunia telah mengakuinya. Dari 193 negara anggota PBB, sekitar 157 negara sudah memberi pengakuan resmi, bahkan negara-negara yang dulunya pura-pura netral macam Inggris, Kanada, Australia, Portugal kini angkat tangan dan berkata, “Ya, Palestina itu negara.” Prancis pun baru-baru ini ikut menegaskan pengakuan itu di mimbar PBB. Kalau bicara fakta di lapangan diplomatik, Palestina sudah sah berdiri tegak sebagai negara yang berdaulat, punya bendera, punya pemerintah, punya tanah, punya rakyat, dan punya derita panjang yang lebih dari cukup untuk disebut bangsa merdeka. Masalahnya, ada satu negara yang merasa dirinya polisi dunia, penentu takdir peradaban, dewa veto sejagad raya, Amerika Serikat.

Secara de jure, Palestina masih terkatung-katung. Statusnya di PBB baru sebatas non-member observer state sejak 2012, hasil Resolusi Majelis Umum 67/19. Sudah berulang kali diajukan jadi anggota penuh, tapi apa yang terjadi? Amerika Serikat dengan gagah perkasa, atau lebih tepatnya dengan pongah, mengangkat kartu veto. Begitulah yang terjadi April 2024, ketika 12 anggota Dewan Keamanan setuju, dua abstain, dan hanya satu yang menolak, AS. Hanya satu, tapi bisa mematahkan keinginan mayoritas dunia. Apa nama kalau bukan kesewenang-wenangan? Negara-negara lain boleh ramai-ramai mengakui, boleh ribut menegaskan solidaritas, tapi Amerika tinggal menekan tombol “No” dan seluruh harapan itu gugur seketika. Inilah dunia modern, 157 negara sepakat, tapi satu negara merasa dirinya Tuhan di meja rapat.

Dalih Amerika klise sekali. Mereka bilang pengakuan negara Palestina harus lewat negosiasi langsung dengan Israel, bukan lewat tekanan internasional. Katanya demi keamanan kawasan, katanya demi mencegah Hamas dan kelompok bersenjata berlindung di balik status negara. Tapi kenyataan di lapangan, rakyat Palestina setiap hari hidup dalam blokade, tanahnya dirampas, rumahnya dihancurkan, anak-anaknya dibesarkan dengan suara bom dan sirine. Dan dunia yang katanya beradab itu hanya bisa menggeleng-geleng, karena satu negara superpower bilang, “Tunggu dulu.” Lucunya, kalau urusan Kosovo atau Taiwan, Amerika bisa fleksibel soal pengakuan. Tapi begitu bicara Palestina, standar ganda dipoles manis jadi argumen diplomatik. Semua orang paham, ini bukan soal hukum internasional, ini soal aliansi abadi Amerika dengan Israel, lengkap dengan industri senjata, lobi politik, dan kalkulasi elektoral di Washington.

Akibatnya jelas. Palestina tidak bisa duduk sejajar dengan negara lain di PBB, tidak punya hak suara penuh, tidak bisa menggunakan mekanisme internasional dengan leluasa untuk menuntut keadilan. Israel pun merasa semakin kebal, karena punya jaminan veto Amerika. Dunia hanya bisa menyaksikan, lagi-lagi rakyat Palestina dibiarkan jadi korban permainan veto. Ironis sekali, ketika mayoritas dunia sudah mengakui Palestina, tapi hukum internasional dibuat macet oleh satu negara yang menganggap demokrasi dunia bisa dikendalikan dari kantornya di Washington.

Pertanyaannya sederhana tapi menyesakkan dada, apa gunanya 157 pengakuan kalau satu veto bisa membatalkan semuanya? Apa artinya hukum internasional kalau satu negara bisa menahan kemerdekaan bangsa lain hanya karena kepentingannya sendiri? Kita bisa bicara panjang soal perdamaian, solusi dua negara, hak asasi manusia, tapi kenyataannya selama Amerika masih memegang palu veto, Palestina akan terus dijadikan sandera politik global. Dunia boleh berteriak, rakyat boleh menjerit, tapi suara mayoritas bisa ditelan bulat-bulat oleh satu negara yang terlalu lama merasa dirinya penguasa tunggal. Di situlah letak kegetiran sekaligus kemarahan, Palestina sudah merdeka di mata dunia, tapi belum di mata hukum internasional, karena satu negara bernama Amerika Serikat memutuskan menutup pintu.

"Nampaknya wak Trump ni perlu diajak ngopi ke Warkop NYC, kan tak juga jauh dari gedung PBB, sekalian diajak makan indomie telur." Ups, Foto Ai, hanya ilustrasi. #camanewak, Rosadi Jamani - Ketua Satupena Kalbar, (Bangros)

Komentar

Popular Posts All Time