Sesat Bernalar Dalam Kitab Mantiq

LOGICAL FALLACY ALIAS SESAT BERNALAR LURUS/BENAR ATAU DUNGU PIKIR. DALAM KITAB MANTIQ DISEBUT ALMUGHALATHAH. 



 

 

 

 

 

ARTOSULAWESI.MY.ID - Dalam diskusi banyak orang melakukan logical fallacy. Bahkan pejabat publik banyak yang membuat pernyataan logical fallacy. 

ARGUMENTUM AD HOMINEM. 

Argumentum ad hominem adalah menyanggah lawan diskusi dengan menyerang pribadi orang yang menyampaikan pendapat atau proposisi. Penyanggah menyerang pribadinya dengan kalimat yang merendahkan/menghina, bukan menyanggah pendapatnya atau proposisi yang disampaikan. Mestinya menyanggah ya menyanggah materi/proposisi yang disampaikan oleh pembuat proposisi/argumen, bukan merendahkan atau menghina personnya. 

1. Argumentum ad hominem abusive yaitu mencela kepribadian.

Contoh:
Jaksa berkata di depan Hakim, "Terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti sebagai koruptor".

Pengacara menyanggah proposisi jaksa, "Yang Mulia, mohon tidak percaya omongan jaksa. Saya tahu persis kelakuan jaksa karena dia teman saya kuliah. Waktu kuliah dia suka menyontek. Maka omongan dia pasti salah karena tidak menyontek". 

Pengacara ini sesat jalan pikir/dungu pikir karena sanggahannya tidak ada hubungannnya dengan proposisi yang disampaikan jaksa.  Dia menyerang sisi buruk kepribadian jaksa. 

2. Argumentum ad hominem circumstansial yaitu mencela/merendahkan/menghina kepada pembuat proposisi dengan mengkaitkan pada kondisi/keadaan yang mengitari pembuat propisisi. 

Contoh: 

Ir. Sokarno pada 1 Juni 1945 berpidato di sidang BPUPKI, "Saya mengusulkan bahwa dalam Indonesia baru nanti yaitu Indonesia merdeka philophische grondslachnya adalah Pancasila". 

Orang yang sesat jalan pikir/dungu pikir menyanggah, "Jangan percaya omongan Soekarno. Dia itu insinyur teknik sipil. Tahu apa dia tentang politik. Abaikan semua omongan Soekarno. Orang teknik sipil kok ngomong politik". 

Untung waktu sidang sidang BPUPK tidak ada orang yang sesat jalan pikir/dungu pikir ini. Coba kalau ada lalu semua anggota BPUPK terpengaruh dengan logical fallacynya, bangsa Indonesia tidak mempunyai dasar negara Pancasila.

STRAWMAN (Menyalahartikan Argumen Lawan)

Mengubah atau menyederhanakan argumen lawan agar mudah diserang.

Contoh:
A: “Saya pikir subsidi BBM perlu dievaluasi ulang.”
B: “Oh, jadi kamu mau rakyat miskin menderita tanpa subsidi?”

 Kesalahan: A tidak mengatakan ingin mencabut semua subsidi, hanya mengevaluasi.

RED HERRING  (Mengalihkan Perhatian)

Mengalihkan diskusi ke topik lain agar inti masalah tidak dibahas.

Contoh:
“Kenapa anggaran haji mahal sekali tahun ini?”
“Lho, kenapa Anda tidak bahas korupsi di tempat lain juga?”

Kesalahan: Alih-alih menjawab masalah, justru membawa topik lain yang tidak relevan.

APPEAL TO IGNORANCE (Argumentum ad Ignorantiam)

Menganggap sesuatu benar karena belum dibuktikan salah.

Contoh:
“Tidak ada bukti Jokowi bukan anak PKI. Jadi mungkin saja dia anak PKI.”

Kesalahan: Beban pembuktian ada pada yang membuat klaim, bukan sebaliknya.

FALSE DILEMMA 
False Dilemma / False Dichotomy – Pilihan Palsu

Menyederhanakan masalah menjadi dua pilihan ekstrem padahal ada pilihan lain.

 Contoh:
“Kalau kamu tidak dukung saya, berarti kamu mendukung koruptor!”

Kesalahan: Banyak alternatif selain dua pilihan itu.

SLIPPERY SLOPE
Slippery Slope – Efek Domino Imajiner

Mengklaim bahwa satu kejadian akan menyebabkan rangkaian kejadian buruk tanpa bukti.

Contoh:
“Kalau kita legalisasi ganja medis, nanti narkoba lain ikut dilegalkan!”

 Kesalahan: Tidak semua perubahan akan menyebabkan efek berantai ekstrem.

CIRCULAR REASONING 
Circular Reasoning (Begging the Question)

Argumen yang berputar-putar, kesimpulan sama dengan premis.

Contoh:
“Demokrasi itu sistem terbaik karena negara demokrasi pasti baik.”

Kesalahan: Tidak ada bukti objektif, hanya pengulangan.

APPEAL TO EMOTION (MEMBENARKAN BERDASARKAN PERASAAN)

Menggugah emosi untuk membenarkan argumen, bukan fakta atau logika.

Contoh:
“Kalau kamu cinta NKRI, kamu harus dukung UU ini meski isinya merugikan rakyat!”

Kesalahan: Emosi bukan dasar rasional untuk kebijakan.

BANDWAGON (Argumentum ad Populum)

Menganggap sesuatu benar karena banyak orang percaya.

Contoh:
“Semua orang bilang Jokowi pintar kok. Masa kamu bilang tidak?”

Kesalahan: Kebenaran tidak diukur dari popularitas.

FALSE CAUSE 
False Cause (Post Hoc Ergo Propter Hoc)

Menganggap satu hal sebagai penyebab hanya karena terjadi lebih dulu.

Contoh:
“Setelah gubernur itu dilantik, harga sembako naik. Jadi pasti dia penyebabnya.”

Kesalahan: Kausalitas tidak otomatis karena urutan waktu.

HASTY GENERAZATION (Generalisasi Terburu-buru)

Menyimpulkan secara umum berdasarkan sedikit contoh.

Contoh:
“Beberapa santri korup, berarti semua lulusan pesantren tidak bisa dipercaya.”

Kesalahan: Tidak adil menggeneralisasi dari kasus kecil.

NO TRUE SCOTSMAN (Mengubah definisi agar sesuai dengan argumen)

Contoh:
“Orang Islam sejati tidak korupsi.”
“Bagaimana dengan Menteri Agama yang korupsi padahal dia Islam?”
“Oh, berarti dia bukan Islam sejati.”

Kesalahan: Menghindari kritik dengan mengubah definisi.

FALLACY OF DEFINITION  (Definisi yang Salah)

Mendefinisikan secara sembarangan agar sesuai dengan opini pribadi.

 Contoh nyata:
“Iran menjajah Suriah.”
Padahal tidak ada pendudukan wilayah, pemerintahan, atau eksploitasi.

Kesalahan: Menyebut "penjajahan" hanya karena keterlibatan militer atau politik, tanpa dasar definisi kolonialisme atau okupasi.

TO QUOQUE 
Tu Quoque (You Too / Hipokrisi)

Menolak argumen karena lawan juga bersalah.

Contoh:
“Kamu korupsi.”
“Lho, kamu juga korupsi dulu. Jadi jangan nasihati saya.”

Kesalahan: Fakta bahwa orang lain juga salah tidak membenarkan kesalahan sendiri.

APPEAL TO AUTHORITY
 Appeal to Authority (Argumentum ad Verecundiam)

 Menggunakan otoritas atau tokoh terkenal untuk membenarkan argumen tanpa bukti lain.

 Contoh:
“Ini vaksin pasti aman. Pak Presiden sudah disuntik kok.”

 Kesalahan: Kebenaran medis tidak ditentukan oleh pejabat, tapi oleh uji ilmiah.

LOADED QUESTION 

Pertanyaan yang mengandung asumsi tersembunyi.

Contoh:
“Kapan kamu berhenti menipu rakyat?”

Kesalahan: Mengandung asumsi bahwa dia pernah menipu, tanpa bukti.

EQUIVOCATION  (Mengaburkan Makna Kata)

Menggunakan satu kata dengan dua makna berbeda dalam argumen yang sama.

 Contoh:
“Kata Tuhan itu harus ditaati. Tapi kan pemimpin itu juga Tuhan dalam arti pemimpin, jadi wajib ditaati.”

Kesalahan: Menggunakan makna “Tuhan” secara ambigu dan menyesatkan.

APPEAL TO TRADITION (Argumentum ad Antiquitatem)

Menganggap sesuatu benar hanya karena itu tradisi.

 Contoh:
“Kenapa harus ada ormas agama diberi dana APBN?”
“Karena sejak zaman dulu memang begitu!”

Kesalahan: Tradisi bukan alasan kebenaran, perlu dikaji ulang secara rasional.

APPEAL TO NOVELTY  (Yang Baru Pasti Lebih Baik)

Menganggap suatu gagasan benar hanya karena baru.

Contoh:
“Kebijakan ini pasti bagus. Ini reformasi terbaru dari kementerian.”

Kesalahan: Yang baru belum tentu lebih baik. Harus diuji manfaatnya.

FALSE ANALOGY (Analogi Palsu)

Membandingkan dua hal yang tidak sebanding untuk menyimpulkan sesuatu.

Contoh:
“Negara itu seperti perusahaan. Jadi rakyat yang rugi ya harus disingkirkan demi efisiensi.”

Kesalahan: Negara dan perusahaan berbeda dalam tujuan dan prinsip etis.

DALAM KOMUNITAS ORANG GILA, ORANG WARAS YANG MEMBESUK DIKATAKAN SEBAGAI ORANG GILA 

Dalam ilmu logika/epistemologi disebut logical fallacy: 

1. Argumentum ad Populum (Bandwagon Fallacy).

Menganggap sesuatu itu benar karena dipercaya oleh mayoritas.

 Contoh:
“Kalau semua orang percaya bumi itu datar, berarti kamu yang percaya bumi bulat itu salah.”

 Ini kesalahan karena kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah, tapi oleh bukti, logika, dan fakta.

 Relevansi:
Dalam kalimat “Di dunia orang gila...”, ada implikasi bahwa jumlah menentukan norma kebenaran, dan ini adalah bentuk ad populum jika digunakan untuk membenarkan opini mayoritas sebagai "standar waras".

2. Relativisme Berlebihan (Moral atau Epistemic Relativism Fallacy). Berpikir bahwa tidak ada kebenaran objektif, semua tergantung pada konteks sosial dan opini publik.

 Contoh:
“Kalau di budaya kami mencuri itu wajar, ya itu benar menurut kami.”

Kesalahan: Beberapa nilai bisa kontekstual, tapi kebenaran logis dan ilmiah tidak bisa selalu direlatifkan.

3. False Equivalence. Menyamakan dua hal yang secara esensial berbeda, hanya karena diposisikan secara terbalik.

Contoh:
“Orang waras dianggap gila, berarti sama saja waras dan gila itu relatif.”

 Kesalahan: Ini menyamakan kategori gangguan kejiwaan (yang ada kriteria medisnya) dengan penilaian sosial.

4. Reductio ad Absurdum yang Keliru. 

Mengambil contoh ekstrem untuk menyimpulkan bahwa sistem nilai apa pun bisa dibalik secara total, tanpa mempertimbangkan kerangka evaluasi objektif (ilmu jiwa, rasionalitas, bukti medis, dll). (Dodi Kurniawan)

Komentar

Popular Posts All Time