Kultur Birokrasi Indonesia: Persfektif ASN , Meritokrasi dan Mentalitas di Pemerintahan Prabowo
![]() |
| Kultur Birokrasi Indonesia: Persfektif ASN , Meritokrasi dan Mentalitas di Pemerintahan Prabowo Subianto |
ARTOSULAWESI.MY.ID - Analisis terhadap kinerja ASN Indonesia (Aparatur Sipil Negara) yang kerap dikaitkan dengan tidak adanya meritokrasi dan isu-isu fundamental lainnya sangat terkait erat dengan pandangan Mochtar Lubis mengenai mentalitas manusia Indonesia.
Prospek masa depan ASN dan reformasi birokrasi di era Prabowo Subianto akan dipengaruhi oleh upaya penerapan sistem merit dan digitalisasi.
Hubungan Masalah Kinerja ASN dan Mentalitas Manusia Indonesia Menurut Mochtar Lubis
Masalah kinerja ASN, khususnya terkait meritokrasi yang tak ada, dapat dihubungkan secara kausalitas dengan enam ciri negatif mentalitas manusia Indonesia yang diungkapkan oleh sastrawan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia (1977), yaitu:
* Munafik (Hipokrit): Berperilaku tidak sesuai dengan ucapan atau norma. Dalam konteks ASN, ini bisa tercermin dari pegawai yang mengutuk korupsi tetapi melakukan korupsi "kelas teri" atau melanggar aturan kecil, serta ketidakadilan hukum yang "tajam ke bawah dan tumpul ke atas."
* Enggan Bertanggung Jawab: Sering kali mencari kambing hitam atau menghindari akuntabilitas atas kegagalan atau kesalahan kerja.
* Berjiwa Feodal: Sifat yang menjunjung tinggi hirarki, status, dan kekuasaan ketimbang kinerja dan kompetensi (merit). Mentalitas "asal Bapak senang" (ABS) yang didorong oleh feodalisme ini jelas bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang menekankan pada prestasi dan kemampuan.
* Percaya Takhayul: Meskipun ciri ini lebih ke ranah budaya, namun secara umum menunjukkan pola pikir yang kurang rasional dan bergantung pada hal non-ilmiah, yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan yang berbasis bukti (evidence-based) di birokrasi.
* Berwatak Lemah: Kurang memiliki pendirian yang teguh, mudah terombang-ambing, dan cenderung tidak berani mengambil keputusan sulit yang berorientasi pada kinerja.
* Artistik: Dalam konteks negatif, bisa diartikan sebagai lebih mementingkan tampilan luar atau ritual ketimbang substansi dan efisiensi kerja.
Meritokrasi yang tak ada dalam ASN merupakan manifestasi nyata dari jiwa feodal dan kemunafikan manusia Indonesia, di mana penempatan posisi seringkali didasarkan pada kedekatan, koneksi, atau senioritas (feodal), bukan kompetensi (meritokrasi). Hal ini diperburuk oleh watak lemah yang sulit untuk menolak intervensi kekuasaan.
Standarisasi, Fungsi, Ontologi, Originalitas, dan Geneologis Karakter Manusia Indonesia
Poin-poin ini menyentuh aspek filosofis dan kultural dalam memahami kinerja ASN:
* Standarisasi dan Fungsi: Birokrasi modern menuntut adanya standarisasi tugas dan prosedur untuk memastikan efisiensi, keadilan, dan prediktabilitas.
Namun, masalah kinerja muncul ketika standar fungsional ini terkikis oleh faktor non-teknis, seperti koneksi atau mentalitas feodal.
* Ontologi: Membahas tentang hakikat keberadaan ASN sebagai pelayan publik. Jika ontologi ASN didominasi oleh orientasi kekuasaan atau kepentingan pribadi (sebagai warisan mentalitas lama), maka fungsi dasarnya sebagai pelayan rakyat akan terdistorsi.
* Originalitas dan Geneologis Karakter Manusia Indonesia: Merujuk pada akar budaya dan sejarah pembentukan karakter bangsa.
Kinerja ASN yang buruk dapat dilihat sebagai pewarisan masalah geneologis (turun-temurun) dari karakter feodal dan munafik yang telah mengakar dalam sejarah sosial-politik Indonesia (sebagaimana disorot Lubis), yang kemudian menghambat penerapan prinsip meritokrasi yang berorientasi pada kompetensi dan integritas.
Masa Depan ASN dan Reformasi Birokrasi di Era Prabowo Subianto
Pemerintahan Prabowo Subianto menempatkan reformasi birokrasi sebagai salah satu fokus utama, dengan harapan dapat mewujudkan birokrasi yang lebih efisien, transparan, dan bersih.
Masa depan ASN dan reformasi birokrasi di era Prabowo menekankan pada:
* Penguatan Meritokrasi: Penerapan sistem merit yang lebih ketat dan merata di seluruh Indonesia menjadi agenda utama untuk memastikan bahwa ASN yang direkrut dan dipromosikan benar-benar berdasarkan kompetensi dan kinerja, bukan kedekatan. Walaupun demikian pemerintahanan yg bulan ini sudah memasuki 1 tahun kerja belum terlihat kebijakan yg jelas terarah berkaitan dengan sistem meritokrasi ini.
* Digitalisasi Pelayanan Publik: Pemanfaatan teknologi informasi secara masif untuk mempercepat alur kerja, meningkatkan transparansi, dan mengurangi peluang praktik korupsi.
* Transformasi Struktural: Upaya penyederhanaan struktur birokrasi (debureaucratization) untuk mengurangi lapisan birokrasi yang tidak perlu, sehingga keputusan dapat diambil lebih cepat dan efisien.
* Peningkatan Kapasitas SDM: Peningkatan pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi birokrat untuk menciptakan pelayanan publik yang profesional dan responsif.
Keberhasilan reformasi ini akan sangat bergantung pada komitmen politik yang kuat untuk melawan warisan mentalitas feodal dan hipokrit dalam birokrasi. (Deskripsi oleh: EF Depok Jawa Barat Indonesia, 04-10-2025)





Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda