MK Memutuskan Pasal "Menyerang Kehormatan atau Nama Baik" Tidak Bisa Lagi Untuk Menjerat Seseorang
ARTOSULAWESI.MY.ID - Frits Maurits Tangkilisan, M.A., mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada 9 September 2024, yang diregistrasi sebagai Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024.
Pemohon keberatan terhadap Pasal 27A, yang dinilai memuat frasa “orang lain” dan “suatu hal” yang terlalu luas dan tidak memberikan batasan subjek hukum yang jelas, sehingga membuka peluang kriminalisasi terhadap kritik publik, terutama kritik yang ditujukan kepada lembaga negara, korporasi, profesi, jabatan publik, dan kelompok masyarakat tertentu. Pencerahan Hukum Hari Ini. Selasa, 25 November 2025
Pemohon berpendapat bahwa ketidakjelasan tersebut melanggar kebebasan berekspresi dan hak atas kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon selanjutnya memperjelas posita dengan menegaskan bahwa secara doktrinal delik penghinaan dalam hukum pidana hanya ditujukan untuk melindungi kehormatan individu perseorangan (natural person), bukan entitas impersonal.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mempertimbangkan bahwa norma pidana harus ditafsirkan secara ketat (strict interpretation) agar tidak multitafsir dan tidak berubah menjadi alat pembatasan kritik terhadap institusi publik atau privat. MK menemukan bahwa penggunaan frasa “orang lain” yang dapat mencakup lembaga atau kelompok berpotensi menyimpangkan tujuan asli delik penghinaan yang secara historis hanya melindungi martabat pribadi. MK juga menekankan perlunya menjaga keseimbangan antara perlindungan kehormatan individu dengan hak masyarakat untuk menyampaikan kritik, pendapat, atau pengawasan terhadap kekuasaan.
Prinsip demokrasi, termasuk kebebasan berekspresi, tidak boleh dibatasi oleh ancaman pidana yang ditafsirkan secara meluas. Dalam menilai ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2), MK juga menekankan bahwa unsur ujaran kebencian harus dibatasi pada tindakan yang benar-benar memuat kebencian berbasis identitas tertentu, dilakukan dengan sengaja, di ruang publik, serta menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.
MK menyimpulkan bahwa sejumlah frasa dalam norma-norma yang diuji harus diberi batasan makna untuk memastikan kesesuaiannya dengan asas kepastian hukum, prinsip proporsionalitas, serta pencegahan overkriminalisasi. MK kemudian mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menegaskan bahwa frasa-frasa dalam Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE hanya konstitusional apabila ditafsirkan secara terbatas.
MK menetapkan bahwa frasa “orang lain” hanya dapat dimaknai sebagai individu perseorangan, bukan lembaga pemerintah, institusi, korporasi, kelompok beridentitas tertentu, profesi, atau jabatan; frasa “suatu hal” harus ditafsirkan sebagai perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang; dan unsur ujaran kebencian hanya dapat dikenakan jika informasi elektronik tersebut secara substantif memuat kebencian berbasis identitas tertentu, dilakukan dengan sengaja di ruang publik, serta menimbulkan risiko nyata diskriminasi atau kekerasan.
—> Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, tanggal 29 April 2025. Sumber: https://s.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_12530_1745894606.pdf .Salam Pancasila, (Fredrik J. Pinakunary)





Komentar
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda